News

Buka Festival Pengendalian Lingkungan 2024, Menteri LHK: Sarana Memperteguh Komitmen Soal Lingkungan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, membuka penyelenggaraan perdana Festival Pengendalian Lingkungan Tahun 2024 di Auditorium Dr Soedjarwo Manggala Wanabakti Jakarta yang berlangsung selama dua hari, yaitu 23–24 April 2024. (Foto: KLHK)
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, membuka penyelenggaraan perdana Festival Pengendalian Lingkungan Tahun 2024 di Auditorium Dr Soedjarwo Manggala Wanabakti Jakarta yang berlangsung selama dua hari, yaitu 23–24 April 2024. (Foto: KLHK)

NEWS -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, membuka penyelenggaraan perdana Festival Pengendalian Lingkungan Tahun 2024 di Auditorium Dr Soedjarwo Manggala Wanabakti Jakarta yang berlangsung selama dua hari, yaitu 23–24 April 2024. Festival memiliki salah satu agenda rapat kerja teknis yang bertujuan penyelarasan kebijakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan dan pembinaan pemerintah daerah, selain juga dimeriahkan dengan pameran dan sideevent.

Kegiatan Festival ini berusaha menjawab tantangan pengelolaan lingkungan hidup secara khusus yang dihadapkan dengan beberapa isu penting nasional dan internasional. Antara lain kontribusi pilar pelestarian lingkungan terhadap pencapaian target SDG’s dan penanganan isu triple planetary crisis yaitu perubahan iklim, polusi, dan ancaman kehilangan keanekaragaman hayati. Pada tahun pertama penyelenggaraan Festival Pengendalian Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ingin merangkul dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk melanjutkan upaya mengendalikan pencemaran dan memulihkan kerusakan lingkungan.

Mengusung tema “Atasi Pencemaran dan Pulihkan Lingkungan”, tema ini bertujuan untuk mengidentifikasi solusi konkret dan strategis yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi pencemaran dan memulihkan lingkungan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan akademisi, diharapkan dapat diciptakan kebijakan, teknologi, dan praktik yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, tema "Atasi Pencemaran dan Pulihkan Lingkungan" menjadi semakin mendesak sebagai fokus untuk menghadapi tantangan ini secara bersama-sama. Mendesaknya perlunya tindakan terkoordinasi dan inovatif.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam sambutannya, Menteri LHK menjelaskan tentang titik belok pengelolaan lingkungan sejak 2014 dengan bergabungnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Menteri Siti menjelaskan berbagai titik belok yang telah dilakukan terkait dengan pengelolaan gambut, pemulihan kerusakan lahan, hingga pengembangan sistem informasi pemantauan kualitas lingkungan.

"Restrukturisasi kelembagaan dengan penggabungan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menggabungkan kekuatan regulasi dan implementasi kebijakan di tingkat tapak," ujar Menteri Siti dalam sambutannya.

Menteri LHK ini mengungkapkan, penggabungan dua kementerian, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan pada akhir tahun 2014 merupakan salah satu titik belok penting dalam sejarah lingkungan Indonesia. Ia menambahkan, telah banyak upaya diagnosis, restrukturisasi, peningkatan operasional, reposisi peran, kepemimpinan dan budaya, serta pemantauan dan adaptasi yang telah dilakukan, dan titik-titik belok tersebut telah terbentuk sampai seperti saat ini.

“Saya yakin dampak dari cara kerja ini akan berpengaruh sampai 20 hingga 50 tahun mendatang jika kita mampu mempertahankan keberlanjutan dari kebijakan, program, dan implementasi kerja kita di lapangan,” cetus Menteri Siti.

Salah satu contoh titik belok yang sangat penting ialah dalam upaya pemulihan ekosistem gambut melalui pengaturan regulasi, konsistensi dalam pembinaan, pengawasan dan penegakkan hukum, penggunaan ilmu pengetahuan dengan melibatkan perguruan tinggi untuk mencari solusi masalah, serta pelibatan perusahaan dan masyarakat setempat untuk upaya pemulihan.

Pada pemulihan ekosistem gambut, kata Menteri Siti, dilakukan melalui pengaturan regulasi, konsistensi dalam pembinaan, pengawasan dan penegakkan hukum, penggunaan ilmu pengetahuan dengan melibatkan perguruan tinggi untuk mencari solusi masalah, pelibatan perusahaan dan masyarakat setempat untuk upaya pemulihan. Pada pemulihan kerusakan lingkungan, strategi pemulihan kerusakan lahan tambang diubah dari formalisasi tambang tambang rakyat menjadi fasilitasi pemulihan lahan bekas tambang pada obyek yang tidak memiliki konflik kepemilikan lahan.

Lokasi bekas tambang yang masih memiliki fungsi lingkungan dan dapat dipulihkan, serta masih terdapat modal sumber daya, dapat didayagunakan kembali untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Di samping itu, lanjut Menteri Siti, masyarakat yang dianggap masih memiliki modal sosial, ditingkatkan penguatan kapasitas dan kelembagaannya dengan pengelola sehingga dapat mandiri dalam menyelesaikan masalah secara berkelanjutan.

Menurut Menteri LHK, konsep ini kemudian direplikasi dan hingga tahun 2023, dengan melakukan pemulihan lahan bekas tambang di 25 lokasi dengan total luasan 235 hektare. Replikasi program pemulihan lingkungan juga dilakukan melalui kemitraan dengan perusahaan melalui program PROPER. Replikasi habitat dan pemeliharaan keanekaragaman hayati. "Pada tahun 2023 tercatat 233 perusahaan dengan kontribusi pemulihan lahan seluas 265.792 hektare, serta 6 perusahaan melakukan pemulihan bekas tambang terlantar seluas 76,8 hektare."

Sementara itu, PROPER memberikan catatan tersendiri. Dari tahun ke tahun terus dilakukan peningkatan penilaian dalam hal parameter yang relevan dan menjadi perhatian serta sebagai titik kritis kondisi lingkungan. Penilaian terakhir PROPER dikembangkan dengan parameter penurunan emisi GRK yaitu ITMOs, Internationally Transferred Mitigation Outcomes dan inovasi sosial ESG (Environment, Social and Governance); di mana kedua ukuran tersebut menjadi esensial dalam upaya pengendalian lingkungan dalam menghadapi Triple Planetary Ciris. ITMOs merupakan kredit yang kermudian dapat diperdagangkan dalam bentuk perdagangan hasil penurunan emisi Gas Rumah Kaca antar negara melalui perjanjian bilateral atau multilateral.

Baca selanjutnya...