Tips

Lingkar Pinggang Bukan Tanda Utama Risiko Penyakit Jantung

dr. Gaga Irawan Nugraha (kiri) berbicara dalam sesi podcast memaparkan hasil penelitiannya terkait indeks massa tubuh dengan metabolisme tubuh. (Dok Republika Network).

BANDUNG – Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dr. Gaga Irawan Nugraha mengungkapkan bahwa lingkar pinggang pada tubuh dapat menjadi faktor utama peningkatan risiko penyakit jantung.

Melalui penelitiannya penelitian yang bertajuk “Hubungan Komponen Sindrom Metabolik dengan Indeks Massa Tubuh” tersebut membahas mengenai sindrom metabolik, sebuah kondisi kumpulan gejala kesehatan yang menjadi indikator peningkatan risiko penyakit jantung, stroke, hingga diabetes. Hal ini diungkapkan Gaga dalam podcast Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD Talk) Universitas Padjadjaran yang diunggah pada kanal YouTube @unpad.

Gaga menyampaikan bahwa faktor utama yang dikaitkan dengan sindrom metabolik adalah lingkar pinggang, tekanan darah, kadar gula darah, rendahnya HDL atau kolesterol baik, dan tingginya kadar trigliserida atau LDL.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Nah, kalau ada dua dari lima faktor yang tadi saya sebutkan, maka tertegak dia mengalami kelainan metabolik atau sindroma metabolik. Jadi dari dua saja sudah cukup,” jelas Gaga

Gaga pun mengungkap bahwa faktor-faktor sindrom metabolik tersebut, terutama lingkar pinggang berlebih dapat ditemukan pada orang-orang yang tampak sehat atau bahkan tidak mengalami obesitas. Temuan tersebut sekaligus meyakini bahwa orang dengan berat badan normal juga tetap memiliki risiko sindrom metabolik.

Lingkar pinggang yang masuk dalam kategori berlebih adalah yang mencapai 80 cm bagi perempuan dan 90 cm bagi laki-laki.

Berdasarkan temuan dari penelitiannya, Gaga menyebut sekitar 20% orang yang mengalami sindrom metabolik tidak mengalami obesitas sama sekali. Kondisi tersebut disebabkan oleh munculnya beberapa gejala utama seperti tekanan darah maupun gula darah yang tinggi.

Menurut Gaga, para ahli dari berbagai organisasi internasional sebenarnya memiliki kriteria yang berbeda mengenai faktor sindrom metabolik. Namun, perbedaan kriteria tersebut tetap mengacu pada satu faktor utama yaitu lingkar pinggang berlebih.

“Jadi risikonya (penyakit jantung) memang para ahli itu membuat kriteria yang berbeda-beda. Tetapi, hampir sama isinya, pokoknya ada lingkar pinggangnya,” lanjut Gaga.

Kendati demikian, Gaga juga mengaku bahwa obesitas tetap menjadi masalah yang cukup serius bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir angka massa tubuh atau berat badan masyarakat Indonesia meningkat hingga tiga kali lipat.

Peningkatan tersebut mencatatkan jumlah orang dewasa di Indonesia yang mengalami obesitas mencapai 35%. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa 1 dari 3 orang dewasa di Indonesia kini mengalami obesitas.

Stroke yang Mematikan

dr. Gaga mengakui bahwa stroke dan jantung koroner adalah penyakit yang harus mendapat perhatian lebih saat ini. Pasalnya, dua penyakit tersebut adalah penyebab kematian utama di Indonesia.

Stroke maupun jantung koroner saat ini menempati peringkat pertama dan kedua sebagai penyebab kematian paling banyak di Indonesia. Kekhawatiran juga muncul karena penyakit tersebut mulai sering terlihat pada orang-orang dengan rentang usia 40 hingga 50 tahun.

Gaga menjelaskan, sebenarnya hanya sekitar 13% orang yang memiliki penyakit sindrom metabolik tanpa obesitas. Namun, kategori tersebut justru memiliki tingkat mortalitas atau kematian yang paling tinggi.

“Jadi orang yang kurus dan punya kelainan metabolik, itu lebih berisiko mengalami penyakit kronis dan menyebabkan kematian dibanding orang yang obesitas,” lanjutnya.

Gaga pun menganjurkan masyarakat agar bisa melakukan deteksi mandiri terkait gejala yang meningkatkan risiko penyakit jantung. Mulai dari mengecek lingkar pinggang di rumah, rajin memantau berat badan, hingga rutin melakukan tes tekanan darah.

Kiat Gaya Hidup Sehat

Mengenai faktor-faktor pemicu risiko penyakit jantung, Gaga mengungkap beberapa kekeliruan utama di masyarakat yang berkaitan dengan gaya hidup tidak sehat.

Pertama, orang-orang yang tidak makan pagi atau sarapan lebih besar berpotensi terkena obesitas maupun diabetes. Pasalnya, sarapan pagi menjadi salah satu waktu paling penting untuk mengisi tubuh dengan makanan.

Gaga menjelaskan, ketika seseorang tidak sarapan pagi, maka otak akan tetap memberikan sensor lapar dan menyebabkan makan tidak teratur pada siang, sore, dan malam harinya. Tidak teraturnya pola makan menyebabkan otak mengirim sinyal lapar dan kenyang yang tidak teratur, sehingga akan terus-terusan merasa lapar.

Selain itu, konsumsi makanan yang tinggi karbohidrat sederhana seperti gula dan tepung juga harus dikurangi apabila seseorang ingin memperbaiki pola makan dan mencegah diri dari obesitas.

Olahraga yang rutin dan teratur juga menjadi kiat untuk menjaga tubuh terbebas dari gejala sindrom metabolik. Setidaknya 150 menit olahraga ringan-sedang dan 75 menit olahraga berat dalam satu minggu cukup untuk menjaga kondisi badan tetap ideal.

Pada akhirnya, Gaga menyarankan agar masyarakat selalu menjaga pola makan dan komposisi makanan yang baik untuk menerapkan gaya hidup sehat agar terbebas dari sindrom metabolik yang menyebabkan risiko penyakit jantung mematikan