News

Repatriasi WNI dari Wilayah Konflik Suriah

Direktur KPP Noor Huda Ismail (kedua kanan) pada Diskusi Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah, di Auditorium Fikom Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Kamis (13/3/2024).

BANDUNG -- “Yang penting jangan sampai hanya ada satu narasi tunggal, bahwa orang pergi ke Suriah bergabung dengan ISIS karena alasan ideologi, “ demikian Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menekankan salah satu tantangan upaya pemulangan WNI dari Suriah.

Hal itu disampaikannya saat hadir dalam acara pemutaran film Road to Resilience yang diproduksi Kreasi Prasasti Perdamaian. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama Ruangobrol.id dan BNPT di Auditorium Pascasarjana Fikom Unpad, Kamis (13/3/2025), sekaligus menjadi ajang diskusi buku karya Noor Huda Ismail, Anak Negeri di Pusaran Konflik di Suriah.

Pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) dari negara Suriah sampai hari ini memang masih menjadi perdebatan berbagai pihak. Program yang direncanakan demi menjunjung tinggi asas kemanusiaan itu mau tak mau terganjal isu radikalisme, menjadikan pemerintah belum secara terang-terangan menerima WNI yang berada di Suriah untuk kembali ke Tanah Air.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Noor Huda Ismail mengatakan, lewat film dokumenter Road to Resilience yang dibuatnya tahun 2017 lalu itu, dia ingin menyampaikan pesan soal kesempatan kedua yang layak diberikan kepada WNI eks ISIS. Menurut pria yang akrab disapa Huda ini, mereka pergi ke Suriah tidak seluruhnya atas dasar ideologi ekstrem. Ada juga yang terpaksa pergi karena sekadar ingin berkumpul dengan anggota keluarga, seperti yang dialami Febri, tokoh utama Road to Resilience.

Huda yang juga akademisi Universitas Teknologi Nanyang Singapura ini mengungkapkan, stigma masyarakat atas WNI yang pulang dari Suriah masih jadi tantangan terberat. Mereka erat dikaitkan dengan paham radikalisme yang dikhawatirkan menyebar di Indonesia.

"Latar belakang mereka pergi ke Suriah itu harus diklasifikasikan. Pertama, mereka yang beralasan ideologi contohnya teman-teman JI (Jemaah Islamiyah). Lalu ada JAD (Jamaah Ansharut Daulah), yang berangkat ke sana dan pindah kewarganegaraan karena khilafah."

"Ketiga, orang-orang yang dulunya korban. Perempuan misalnya, suaminya berangkat (ke Suriah), masa gua nggak ikut. Jadi jangan disamaratakan," tambahnya lagi.

Menurut Huda, sejumlah WNI yang sudah kembali ke Indonesia bisa kembali ke masyarakat dan beradaptasi dengan baik. Mereka bahkan kerap dijadikan contoh sebagai individu yang tulus meyakini NKRI.

"Semuanya kembali ke masyarakat dan produktif," imbuhnya.

Film Road to Resilience

Mengiringi diskusi, film dokumenter Road to Resilience mengangkat perjalanan seorang remaja Indonesia yang terjebak dalam janji-janji manis ISIS dan akhirnya menemukan jalan kembali ke tanah airnya.

Film ini dimulai dengan pengenalan masalah yang lebih luas, mengangkat isu perang saudara di Suriah dan kebangkitan ISIS yang menarik ribuan orang dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Ketika Febri dan rombongannya akhirnya berhasil kembali ke Indonesia, mereka menghadapi kenyataan pahit berupa penolakan dan stigma dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai pengkhianat. Selama satu bulan, mereka menjalani berbagai pelatihan dan interogasi dari BNPT dan Densus 88.

Meskipun begitu, Febri dan keluarganya tidak menyerah. Mereka memulai hidup baru di Depok, Jawa Barat, berusaha menata kembali kehidupan mereka dari awal.

Febri menuturkan, kepergiannya ke Suriah bukanlah tanpa alasan. Pergulatan hatinya membawa Febri akhirnya pergi menemui ibunya di negara berkonflik itu.

Setibanya di Indonesia, Febri dan ibunya mulai menata hidup. Selama setahun keduanya mengisolasi diri dan tidak berkomunikasi dengan keluarga besar. Ketakutannya akan stigma buruk dari keluarga, membuat ibu dan anak itu berjuang sendirian.

Produser Film to Resilience, Ani Ema Susanti mengaku, butuh waktu 7 tahun untuk timnya memproduksi film dokumenter ini. Dari kacamata mantan pekerja migran, Ani cukup terkejut saat mengetahui kenekatan Febri pergi ke Suriah.

"Kami mendokumentasikan repatriasi Febri dan keluarga, bagaimana cara mereka bisa pulang dari camp di Suriah," ujar Ani.

Pakar Komunikasi Unpad, Ari Agung Prastowo mengatakan, komunikasi yang baik sangat diperlukan dalam menyampaikan edukasi kepada masyarakat luas. Terlebih, terorisme merupakan isu sensitif di Indonesia.

"Film ini tepat, pesannya tersampaikan. Kita bisa melihat adanya resiliensi komunikasi menghadapi tekanan komunikasi yang ada," ucapnya.

Menurut Ari, film juga menyuguhkan kegagalan komunikasi pada Febri yang tidak mampu menyampaikan alasannya pergi ke Suriah.

"Ini terjadi kegagalan komunikasi, berangkat ke Suriah bukan karena alasan ideologi. Meyakinkan bahwa mereka pergi bukan semata-mata ideologi, tetapi pergi karena tanggung jawab (keluarga)," ungkap dosen di Fikom Unpad itu.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

email: caricuan.republika@gmail.com