News

Marak Ancaman Siber, Indonesia Butuh Ekosistem Keamanan Siber yang Tangguh dan Terhubung

CEO Privy, Marshall Pribadi, dalam perbincangan bersama Prof Rhenald Kasali (kanan) di kanal YouTube IntrigueRK, Rabu, 16 Juli 2025. (Foto: Istimewa)

JAKARTA -- Ancaman siber di Indonesia memasuki fase yang semakin mengkhawatirkan. Skema penipuan digital kini berkembang pesat, mulai dari pencurian identitas, pembobolan akun, pemalsuan dokumen, hingga penggunaan teknologi deepfake.

Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat total kerugian akibat penipuan online telah melampaui Rp 2,6 Triliun hingga Mei 2025.

Model kejahatan digital kini jauh lebih terorganisasi. Para pelaku memanfaatkan celah antarsistem, menyebarkan identitas palsu, dan memanipulasi dokumen untuk mengelabui masyarakat maupun institusi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Di tengah maraknya ancaman siber dan kerugian yang terus meningkat, Privy menyerukan bahwa industri harus mulai meninggalkan pendekatan silo dan membangun kolaborasi lintassektor dalam menciptakan ekosistem keamanan digital yang lebih terintegrasi dan proaktif.

“Ancaman hari ini bukan lagi datang dari satu arah. Mereka bekerja sebagai jaringan, menyasar titik-titik rawan di sistem kita. Yang kita butuhkan adalah ekosistem pertahanan bersama,” ujar CEO Privy, Marshall Pribadi, dalam perbincangan bersama Prof Rhenald Kasali di kanal YouTube IntrigueRK, Rabu, 16 Juli 2025.

Salah satu langkah strategis yang kini mulai dijalankan oleh lembaga jasa keuangan di Indonesia adalah penerapan identitas digital terpercaya dan tanda tangan elektronik tersertifikasi—teknologi yang memungkinkan verifikasi identitas dan autentikasi dokumen dilakukan secara akurat dan cepat, tanpa bergantung pada proses manual yang rentan dimanipulasi.

Namun, agar teknologi ini benar-benar efektif mencegah penipuan, dibutuhkan ekosistem yang saling terhubung. Marshall menekankan pentingnya interoperabilitas dan pertukaran sinyal risiko antarlembaga.

“Kalau satu institusi mendeteksi perangkat atau pola serangan mencurigakan, seharusnya sinyal itu bisa dibaca oleh institusi lain. Kolaborasi semacam ini akan membentuk lapisan proteksi yang jauh lebih kuat dari sekadar pertahanan internal,” jelas Marshall.

Di dalam ekosistem itu, peran Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) menjadi krusial sebagai fondasi kepercayaan. Sebagai PSrE yang berinduk ke Kementerian Komunikasi dan Digital RI, Privy saat ini menjadi salah satu penyedia infrastruktur yang mendukung sistem trust digital nasional.

Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah certificate warranty—mekanisme yang mengharuskan PSrE mengganti rugi apabila terjadi kerugian akibat kesalahan dalam proses verifikasi identitas. “Kalau ternyata yang menandatangani bukan orang yang sebenarnya, dan ada kerugian, kami wajib bertanggung jawab,” tegas Marshall.

Meski begitu, Marshall menekankan bahwa teknologi hanyalah satu sisi dari solusi. Budaya kehati-hatian dan verifikasi aktif dari masyarakat juga harus dibangun. "Kalau menerima dokumen digital, biasakan untuk verifikasi. Kalau belum bisa dibuktikan keasliannya, anggap palsu dulu."

Beberapa inisiatif juga tengah dikembangkan bersama asosiasi dan regulator, mendorong agar lembaga keuangan, fintech, hingga instansi publik menerapkan standar keamanan informasi yang lebih ketat dan terintegrasi.

“Ekonomi digital Indonesia terus tumbuh. Tapi pertumbuhan tanpa fondasi keamanan hanya akan membuka celah kerugian yang lebih besar. Sekarang waktunya membangun pondasi itu bersama-sama,” tutup Marshall.

(***)