Bisnis

Aksi Boikot tanpa Kriteria Jelas Rawan Ditunggangi Kepentingan Persaingan Usaha

Para narasumber diskusi "Dampak Sosial dan Ekonomi Boikot Israel" yang digelar Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) UII Yogyakarta, belum lama ini. (Foto: PS2PM)

BISNIS -- Akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Yusdani, menilai bahwa gerakan boikot, divestasi, sanksi (BDS) lebih berdampak ke dalam negeri. Apalagi, gerakan ini juga rawan ditunggangi oknum untuk mencari keuntungan pribadi.

"Dalam perspektif Islam yang saya pahami, ketika kita melakukan boikot itu betul-betul dipertimbangkan segala dampak segala sesuatunya terutama barangkali aspek keadilan sosial," ujar Yusdani dalam sebuah acara diskusi belum lama ini.

Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) UII Yogyakarta ini melanjutkan, boikot lebih berdampak ke dalam negeri karena mengganggu arus ekonomi nasional. Ia mengatakan, pekerja perusahaan yang disebut-sebut terafiliasi oleh Israel berpotensi terkenal efisiensi akibat dampak dari boikot dimaksud.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Jadi kita mau melemahkan Israel (melalui boikot) tapi sebenarnya justru yang kena dampaknya perekonomian bangsa Indonesia sendiri," kata Yusdani.

Namun demikian, Yusdani menjelaskan, bukan berarti boikot itu tidak harus dilakukan. Menurutnya, masyarakat hanya harus lebih hati-hati karena gerakan ini rawan disusupi oknum tertentu untuk kepentingan pribadi.

Menurut Yusdani, masyarakat harus benar-benar teliti dan jeli dalam memboikot produk-produk yang ada di dalam negeri. Ia melanjutkan, jangan sampai gerakan ini justru merugikan perusahaan yang jelas-jelas sudah banyak membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

"Makanya saya berharap kepada masyarakat terutama masyarakat Muslim untuk menyikapi boikot ini secara cerdas," kata Yusdani menegaskan.

Di saat yang bersamaan, Yusdani juga meminta pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih jelas mengungkapkan perusahaan atau produk mana saja yang terafiliasi Israel. Ia melanjutkan, hal ini agar tidak ada korban dari oknum yang memanfaatkan momentum baik ini. "Tidak pernah MUI itu menjelaskan perusahan/produk mana yang terafiliasi Israel. Tapi begitu fatwa keluar, akhirnya keluar beberapa produk yang dituduhkan (terafiliasi)," cetusnya.

Yusdani mengungkapkan, keberadaan daftar liar perusahaan yang diduga terafiliasi ini menjadi bukti jelas bahwa gerakan yang awalnya ditujukan untuk melemahkan ekonomi Israel, telah ditunggangi oknum tidak bertanggung jawab. Menurutnya, boikot ini kemudian menjadi salah sasaran. "Bahkan saya kira hingga hari ini Israel itu tenang-tenang saja (ada boikot) bahkan lebih agresif," katanya.

Melihat kondisi demikian, dosen UII ini berpendapat, masyarakat lebih baik memberikan bantuan ril semisal donasi atau kebutuhan sehari-hari untuk membantu saudara-saudara di Palestina. Selain menghindari dari gerakan yang salah sasaran, lanjut dia, bantuan tersebut juga dirasa lebih dibutuhkan warga Palestina yang terkena agresi militer.

"Saya kira kalau boleh memilih antara boikot dengan menyumbang, ya sumbang saja apa yang kita bisa karena lebih konkret dan kita tidak cuap-cuap saja karena ini (boikot) menurut saya banyak muatan politisnya daripada literasi umat," kata Yusdani menegaskan.