Polemik Ijazah Jokowi, Ketua Dewan Pembina Yayasan UTA Dr Rudyono Darsono: Jalur Hukum Solusi Tepat

REPUBLIKA.CO.ID; JAKARTA -- Polemik ijazah palsu mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hingga kini masih terus bergulir. Menurut Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA) Dr Rudyono Darsono, untuk menjawab polemik tersebut maka jalur hukum menjadi solusi yang tepat.
“Mengingat persoalan ini sudah menjadi polemik nasional, sepertinya memang harus diselesaikan melalui jalur hukum,” kata Rudyono Darsono dalam podcast UTA Bicara bertema Ijazah Jokowi Asli atau Palsu? yang tayang Sabtu (26/4/2025).
Namun, lanjut Rudyono, kunci utamanya tetap berada pada otoritas kampus yanag mengeluarkan. Mengapa demikian? Karena di bawah taahun 1990 dunia pendidikan di Indonesia memang belum ada namanya pangkalan data perguruan tinggi (PDDIKTI) sehingga catatan dokumentasi mengenai status kemahasiswaan seseorang memang berada pada wewenang kampus yang mengeluarkan.
Oleh karena itu, jika pihak kampus UGM menyatakan bahwa ijazah Jokowi adalah asli, maka siapa saja tidak bisa menolaknya. “Jadi kita kembalikan ke kampus, sebab mereka yang membuatnya,” jelas dia.
Meski demikian untuk menyatakan bahwa ijazah itu asli, UGM berkewajiban menuangkannya dalam bentuk produk hukum. Karena ijazah memang salah satu produk hukum yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum pula. Termasuk jika nantinya ahli forensik menemukan ada unsur yang tidak benar atau tidak pas waktu pembuatannya. Dalam hal ini, maka UGM juga harus bisa menjelaskan.
Jadi, lanjut Rudyono, untuk mengatakan apakah ijazah Jokowi itu asli atau palsu, tidak bisa dilakukan semena-mena. Ada catatan historis baik secara forensik maupun timeline. “Barangkali kampus bisa mengundang teman-teman seangkatannya, atau mungkin siapa dosennya waktu itu,” tegasnya.
Rudyono juga tidak menyalahkan jika Jokowi enggan menunjukkan ijazahnya ke ranah publik. Mengingat saat ini Jokowi bukan lagi pejabat negara atau pejabat publik. Dalam hal ini, Jokowi memiliki hak privaasi yang tidak boleh dilanggar siapapun.
“Kecuali waktu itu beliau masih menjadi presiden, terus ijazahnya dipersoalkan. Pejabat publik itu menjadi orang yang hak privasinya sangat kecil. Ini karena pejabat publik makan dengan uang rakyat, maka dia juga harus terbuka kepada rakyat,” cetus Rudyono.
Meski Jokowi memiliki hak privasi untuk menolak memperlihatkan ijazahnya ke ruang publik, namun karena ini sudah menjadi polemik nasional, bisa saja persoalan ini dibawa ke ranah hukum. Tujuannya untuk mengetahui apakah saat menjabat sebagai Presiden RI, Jokowi menggunakan produk hukum yang asli atau palsu.
“Kalau saja menjabat menggunakan produk hukum palsu, tentu produk hukum yang dihasilkan selama menjadi presiden perlu dipertanyakan,” tegas Rudyono.
Rudyono mengakui persoalan hukum di Indonesia hingga kini masih menjadi persoalan klasik yang belum berhasil direformasi. Kepentingan politik masih sangat dominan dalam pembuatan keputusan hukum. “Ini apalagi 10 tahun terakhir ini kalau di pandangan saya otorisme sudah sangat tinggi,” tegasnya.
Rudyono sendiri belum bisa memastikan apakah pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto ini merupakan pemerintahan masa transisi untuk memperbaiki kondisi sebelumnya, atau melanjutkan secara keselurahan termaasuk yang buruk-buruk juga. “Yang jelek apakah tetap dilanjutkan atau dihentikan, kita nggak tahu. Sebagai orang pendidikan hanya bisa melanjukan proses pendidikan yang memang diperbolehkan dan jadi wewenang kampus,” terangnya.
Rudyono juga berharap dalam menjawab polemik soal ijazah Jokowi ini, tidak ada kekerasan fisik, mengingat ini persoalan etika dan moral. “Jadi ada sekelompok aktivis yang niatnya baik untuk menjagaa eksistensi dan moral masa depaan bangsa,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, polemik ijazah palsu ini kembali muncul setelah seorang mantan dosen dari Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, yang sangsi keaslian ijazah dan skripsi dari Presiden RI ke-7 Jokowi. Alasannya, lembar pengesahan dan sampul skripsi menggunakan font time new roman yang menurutnya belum ada di era tahun 1980-an hingga 1990-an.
Klaim dari Rismon ini membuat polemik dan perdebatan di kalangan warganet. Banyak yang menyangsikan informasi yang disampaikan, namun tidak sedikit yang pula percaya akan narasi yang ia sampaikan yang dibalut dengan analisis forensik digital.
