Berantas Mafia Peradilan, Para Akademisi: Peran Lembaga Pendidikan dan Proses Rekrutmen Sangat Penting

REPUBLIKA.CO.ID; JAKARTA -- Merebaknya kasus-kasus di dunia peradilan mulai dari hukuman bebas kepada terdakwa yang telah menyebabkan seseorang kehilangan nyawanya, sampai patgulipat antara korporasi dengan hakim yang berdampak pada putusan, telah menimbulkan keprihatinan mendalam bagi kalangan akademisi.
Dalam Podcast UTA Bicara yang mengangkat tema tentang Peran Lembaga Pendidikan dalam Mencetak Para Intelektual dengan Moral yang Baik, dikutip pada Senin (21/4/2025), Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA) Dr Rudyono Darsono menyatakan bahwa sejak era reformasi, telah terjadi degradasi moral yang sangat tinggi.
“Dalam sistem rekrutmen misalnya, telah terjadi 'penghianatan' termasuk pada aparat penegak hukum,” ujar Rudyono.
Menurut Rudyono, jika rekrutmennya sudah tidak benar, maka tidak bisa berharap banyak dari aparat hasil rekrutmen tersebut. “Kalau bibitnya sudah busuk, bagaimana kita berharap jadi buah yang manis,” cetusnya.
Contoh lain, kata Rudyono, adalah soal sistem pengawasan. Ia menyoroti diamputasinya kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi hakim yang hanya sebatas perilakunya saja, tidak boleh sampai ke ranah teknis putusan.
Bagi Rudyono, KY ibarat hanya satpam penjaga absensi bagi para hakim. Padahal, yang terjadi jual beli tentang materi perkara dan putusan, bukan soal perilaku yang terlihat.
Rudyono menilai, saat ini mafia peradilan sudah semakin terang-terangan, bahkan terkesan terorganisasi.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun menegaskan perbuatan negatif, apapun bentuknya, yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum harus diperangi. “Kita harus carikan solusi, mulai dari lembaga pendidikan,” ujar Prof Gayuus.
Prof Gayus sependapat dengan Rudyono bahwa proses rekrutmen di pengadilan menjadi hal penting. Apalagi untuk menduduki jabatan tertentu, seperti Kepala Pengadilan Negeri, Kepala Pengadilan Tinggi, dan lainnya.
Menurut Prof Gayus, ini juga termasuk dalam merekrut para Pembantu Presiden RI, di mana track record dan keahlian harus menjadi parameter penting di atas segalanya.
Usul Evaluasi Hakim
Pada tahun 2014, ketika menjabat sebagai Hakim Agung RI, Prof Gayus mengaku telah berinisiatif menemui Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk mengusulkan agar hakim-hakim se-Indonesia dievaluasi. Hakim yang baik dipertahankan, sementara yang buruk diganti.
“Evaluasi dan pembinaan dilakukan lebih dulu pada Ketua PN, Ketua PT, dan jajaran pimpinan di Mahkamah Agung. Harapannya, setelah mereka dievaluasi bisa memotivasi bawahannya untuk bekerja baik, jujur, dan bersih,” ujar Prof Gayus.
Sejatinya, lanjut Prof Gayus, MA telah memiliki 'buku putih' guna menciptakan court excellent, yakni Peraturan Mahkamah Agung (MA) RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya.
Bukan hanya itu, ada juga Peraturan MA RI Nomor 01 Tahun 2020 tentang sanksi-sanksinya. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa bila ada hakim bermasalah, maka sanksinya akan berjenjang.
Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa bila hakim menerima suap Rp 50.000 saja, hukumannya 5 tahun penjara. Apalagi kalau miliaran rupiah ke atas, bisa kena hukuman penjara seumur hidup.
"Meski sudah ada aturan yang sebenarnya cukup berat itu, masih saja terjadi praktik-praktik suap di pengadilan,” keluh Prof Gayus.
Jika demikian, sambung Prof Gayus, artinya sudah tidak bisa lagi dengan aturan dan pengawasan, tapi evaluasi total. "Kalau ada yang jelas-jelas melakukan perbuatan menyimpang harus langsung dibuang."
Pengawasan Lemah
Senada dengan Prof Gayus, Rudyono menilai perlu dilakukan evaluasi besar-besaran di lembaga peradilan. Ia menyebut selama ini pengawasan sangat lemah.
Bahkan, Rudyono mengendus gelagat, antar-penegak hukum saling menyandera dan berupaya membangun kastil sendiri-sendiri.
Prof Gayus menambahkan, lembaga pendidikan penting memberi penguatan terkait iman dan taqwa kepada para mahasiswanya. Menyitir kata-kata Prof BJ Habibie, "Ilmu pengetahuan dan teknologi tak ada artinya dibandingkan iman dan taqwa".
Karena itu, Prof Gayus mendorong agar tiap universitas betul-betul memperhatikan iman dan taqwa mahasiswanya sehingga memiliki benteng moral yang kuat.
“Dunia kampus perlu mengambil peran agar menghasilkan intelektual-intelektual yang betul-betul bersih dan bermoral excellent,” tandas Prof Gayus.
