Aliansi Kebangsaan: Perkembangan Teknologi Digital Buat Perubahan Besar Cara Masyarakat Berpolitik

JAKARTA -- Demokrasi yang dulu hanya berlangsung di ruang-ruang offline melalui perjumpaan-perjumpaan di luar jaringan internet atau luring, kini menemukan bentuk baru dalam ruang digital. Demokrasi digital ini menggambarkan bagaimana teknologi digital dimanfaatkan untuk mendukung proses demokrasi seperti transparansi pemerintahan, akuntabilitas, dan partisipasi warga dalam ikut mengambil keputusan publik.
Proses-proses partisipasi publik yang biasa disebut internet citizen atau netizen sebagai warga internet, warganet, pada umumnya untuk berapa tujuan. Seperti kampanye politik di media sosial, petisi daring, dan crowdsourcing kebijakan, aksi digital, digital activism, forum diskusi online sebagai bentuk deliberasi publik, dan sebagainya.
“Teknologi digital mempercepat arus informasi dan memungkinkan siapapun untuk bersuara,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, dalam kata pengantarnya pada Diskusi Publik bertema “Demokrasi Digital: Antara Partisipasi dan Represi” yang digelar Aliansi Kebangsaan pada Jumat (15/8/2025). Diskusi Publik menghadirkan narasumber Pakar Demokrasi Digital yang juga Warek Undip, Wijayanto Ph.D; Direktur Komunikasi PT Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, SS, M.Ikom; dan jurnalis senior Lukas Luwarso.
Menurut Pontjo, perkembangan teknologi digital telah membuat perubahan besar dalam cara masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Warganet memanfaatkan media sosial, platform diskusi, dan kanal berita untuk menyuarakan pendapat, mengawasi pemerintah, hingga melakukan mobilisasi sosial secara masif dan cepat. "Inilah yang kemudian dikenal dengan demokrasi digital, melalui ruang digital terjadi perluasan partisipasi politik," jelas dia.
Hal ini, lanjut Pontjo, menjadi peluang besar untuk memperluas cakupan demokrasi, khususnya bagi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan dan tidak punya saluran untuk berpendapat. Mereka sebelumnya tidak lapar bersuara atau voiceless menjadi lebih mungkin untuk didengar. "Perkembangan digital dapat memperkuat keterlibatan warga negara dalam proses politik dengan menyediakan saluran komunikasi dua arah, antara publik dan pembuat kebijakan."
Pontjo mengakui, dalam konteks Indonesia, keberadaan media sosial seperti Twitter, Instagram, TikTok telah memainkan peran penting dalam gerakan sosial. Berkibarnya berbagai tagar seperti #kabur aja dulu hingga #Indonesia gelap menunjukkan bentuk-bentuk partisipasi publik yang semakin terbuka setelah terafiliasi dengan kemajuan digital.
Fenomena tersebut, menurut Pontjo, merupakan konteks baru dari sisi saluran atau media yang difasilisasi oleh kemajuan teknologi, technology advance.
Sementara itu, sambung Pontjo, ada konteks lain dari sisi substansi kelembagaan representasi dan konstituensi rakyat, terutama melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di mana lembaga-lembaga perwakilan kita dan di partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik demokrasi kita hari ini semakin monolitik. Elit politik memiliki narasinya sendiri yang cenderung tunggal di tengah aspirasi publik yang berbagai bidang. Parlemen sering gagal menjadi saluran rakyat. “Ia sering hadir sebagai saluran sekelompok kecil elite politik dan ekonomi yang disebut oligarki,” jelasnya.
Pontjo melanjutkan, konteks tersebut mendorong lahirnya dinamika politik baru yang melampaui dinamika politik di parlemen yang sering tidak memantulkan aspirasi publik. Politik pasca-parlemen, post-parliamentary politics kemudian mendapat lokus baru di tengah perkembangan digital. Di situlah sebenarnya digital demokrasi memiliki tautan yang solid dengan post parliamentary politics.
“Meski demikian, belakangan ini kita melihat adanya respons yang tidak tepat atas fenomena demokrasi digital dan post parliamentary politics terhadap penguatan ruang-ruang partisipasi digital ini. Kita melihat ada kebijakan dan tindakan untuk melakukan kontrol dan pembatasan oleh negara atau kekuatan dominan dalam menghadapi partisipasi publik di dunia maya,” cetus Pontjo.
Akibatnya, Pontjo mengingatkan, terjadi tensi dan ketegangan antara partisipasi yang melalui ruang demokrasi digital dengan upaya-upaya untuk melakukan kontrol atau restriksi melalui represi digital. "Gesekan antara demokrasi digital dan represi digital mencerminkan dinamika antara kontrol negara dan kebebasan sipil."
Pemerintah berdalih bahwa pembatasan digital diperlukan untuk menjaga ketertiban umum, menjaga hoax atau menangkal radikalisme. Namun pembatasan ini sering tidak proporsional dan kurang akuntabel padahal demokrasi digital hanya dapat tumbuh jika terdapat ruang deliberatif yang bebas dan kontrol dari kontrol represif. Tanpa jaminan hak digital di ruang partisipasi justru akan menjadi tempat intimidasi dan sensor, bukan arena demokratis.
Ketegangan ini pun semakin kompleks dengan area teologi baru yang seperti pengendalian wajah, alur penyaringan konten, kecerdasan buatan, atau AI yang dapat digunakan untuk meningkatkan kontrol negara atas digital informasi digital. “Di negara kita represi digital mudah kita ketemukan dalam ruang-ruang demokrasi kontemporer. Dari mulai hacking, doxing para aktivis, pembukaan kritik di dunia maya, kriminalisasi menggunakan undang-undang informasi dan traksi elektronik UU ITE sehingga pemadaman jaringan internet,” kata Pontjo menandaskan.
