Analisis Politik dan Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto

Oleh PG Slamet Gandhiwidjaja (entrepreneur, pemerhati politik dan ekonomi)
Presiden Prabowo Subianto merupakan figur politik yang kompleks dalam lanskap demokrasi Indonesia. Latar belakang militernya, perjalanan panjang sebagai oposisi, serta transformasi citra politik yang dialaminya dinilai publik luas menciptakan berbagai paradoks yang signifikan. Dari seorang jenderal dengan rekam jejak kontroversial hingga menjadi presiden, perjalanan ini mengundang analisis akademis mendalam.
Dari sinilah muncul paradoks. Gaya militeristik bercampur dengan tuntutan demokratis dan realitas kekuasaan mengantarkannya harus menyeimbangkan antara retorika dan praktik politik. Prabowo memimpin dalam sistem demokrasi yang menuntut kompromi, dialog, dan fleksibilitas.
Prabowo sering berbicara dengan bahasa nasionalisme keras (misalnya, tentang kedaulatan penuh dan anti dominasi asing), tetapi dalam praktik ia melakukan realpolitik: menerima investasi asing, merangkul lawan politik, dan menjaga hubungan dengan Amerika Serikat (AS) maupun Cina. Paradoks ini lahir dari kebutuhan untuk menjaga stabilitas dan mengamankan legitimasi.
Beberapa aspek paradoks yang kerap mengundang sorotan publik luas, antara lain:
Otoriter vs Demokrat
Dalam kerangka teori transisi demokrasi, figur dengan latar belakang militer cenderung diasosiasikan dengan gaya kepemimpinan otoritarian. Prabowo tidak lepas dari stigma ini. Namun, realitas politik pasca-Reformasi memaksanya beroperasi dalam kerangka demokrasi elektoral yang kompetitif. Kemenangannya dalam Pemilu 2024 menunjukkan keberhasilannya membangun narasi baru di tengah demokrasi yang terkonsolidasi. Penerimaan publik terhadap gaya kepemimpinannya yang lebih moderat dan akomodatif dibandingkan citra keras yang melekat di masa lalu.
Nasionalisme vs Realpolitik
Dalam perspektif realisme internasional, Prabowo menekankan kepentingan nasional, kedaulatan, dan kemandirian bangsa. Retorikanya sarat nasionalisme, seperti isu ketahanan pangan dan pertahanan. Namun sebagai presiden, ia harus mengakomodasi realpolitik global.
Contoh konkret terlihat pada kebijakannya menjaga keseimbangan diplomasi antara Amerika Serikat dan Cina, termasuk dalam isu Laut Natuna Utara yang sensitif. Prabowo juga mendukung masuknya investasi asing dalam proyek strategis, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Paradoks ini menunjukkan pergeseran dari idealisme nasionalistik ke pragmatisme pembangunan.
Kekuasaan vs Rekonsiliasi
Sebagai rival politik Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo akhirnya menerima posisi sebagai Menteri Pertahanan, dan kini melanjutkan agenda strategis pemerintahan Jokowi. Dalam teori rekonsiliasi elit, langkah ini memperlihatkan pola khas politik Indonesia, yaitu konflik keras dapat ditransformasikan menjadi koalisi pragmatis.
Salah satu contohnya, kelanjutan proyek IKN Nusantara menjadi simbol konsistensi politik pembangunan lintas pemerintahan, meskipun awalnya Prabowo menempati posisi oposisi.
Kekuatan vs Kelembutan
Gaya komunikasi Prabowo sering diasosiasikan dengan kekuatan dan ketegasan, terlihat dalam pidato-pidato yang emosional dan penuh retorika nasionalistik. Namun, ia juga menampilkan sisi lembut dan humanis: humor, gestur sederhana, dan keramahan dalam interaksi publik.
Dalam perspektif kepemimpinan transformasional, kemampuan mengombinasikan ketegasan dan empati dapat meningkatkan legitimasi dan loyalitas publik. Sebut saja, respons positif masyarakat terhadap pidatonya yang lebih ringan dan menghibur, yang menandai keberhasilan mengelola citra dualistik.
Harapan vs Skeptisisme
Kemenangan Prabowo dalam Pemilu 2024 – terlepas dari berbagai analisis dan penilaian publik – setidaknya mencerminkan besarnya harapan masyarakat terhadap perubahan, terutama dalam bidang pertahanan dan ekonomi. Dalam teori legitimasi politik, kepemimpinan harus menyeimbangkan legitimasi elektoral (mandat pemilu) dengan legitimasi moral (penerimaan atas rekam jejak).
Dinamika Politik Indonesia
Paradok kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mencerminkan dinamika politik Indonesia: antara kontinuitas dan perubahan, idealisme dan pragmatisme, kekuasaan dan rekonsiliasi. Dalam perspektif akademis, paradoks ini bukan sekadar kontradiksi, melainkan sumber fleksibilitas politik yang dapat menjadi kekuatan strategis. Namun, jika tidak dikelola dengan tepat, paradoks ini dapat menjadi titik lemah yang menggerus legitimasi.
Sikap paradoks ini bukan sekadar inkonsistensi, tetapi strategi rekonsiliasi elit agar tetap relevan dan memimpin negara dalam situasi politik yang kompleks. Untuk menjembatani dua sisi itu, Prabowo harus menampilkan sikap paradoks: mengakui keterbatasan masa lalu tapi juga membuka ruang bagi masa depan yang berbeda.
Langkah Strategis
Keberhasilan Prabowo sebagai presiden akan ditentukan oleh kemampuannya mengelola keseimbangan antara retorika nasionalistik dan realitas politik global, serta antara ekspektasi publik dan keterbatasan institusional yang dihadapinya.
Jika Presiden Prabowo Subianto ingin mengurangi kesan paradoks dalam kepemimpinannya, setidaknya ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan, baik di ranah domestik maupun internasional:
Pertama, perlunya melakukan konsistensi narasi politik yaitu menyelaraskan antara retorika publik dengan kebijakan nyata. Misalnya, jika berbicara tentang kemandirian ekonomi, maka kebijakan investasi asing harus dibingkai jelas sebagai upaya transfer teknologi atau peningkatan kapasitas nasional, bukan sekadar membuka pasar. Hal ini akan mengurangi jurang antara ucapan dan tindakan.
Kedua, pentingnya membangun transparansi kebijakan yaitu mengomunikasikan secara terbuka alasan di balik keputusan strategis—baik soal IKN, investasi asing, maupun diplomasi dengan Cina dan AS. Transparansi dapat mengurangi kesan “berubah-ubah” atau paradoks, karena publik paham konteks di balik kebijakan.
Ketiga, perlunya menegaskan identitas kepemimpinan. Prabowo perlu menunjukkan bahwa ia bukan hanya pewaris agenda Joko Widodo, tapi juga punya visi khas sebagai presiden. Misalnya dengan mengedepankan signature policy di bidang pertahanan, pangan, atau digitalisasi yang benar-benar merepresentasikan kepemimpinannya. Dengan begitu, konsistensi identitas politiknya lebih terjaga.
Keempat, pentingnya melakukan pendekatan komunikasi politik yang terukur. Mengurangi retorika emosional yang kadang bertolak belakang dengan kebijakan praktis. Menggunakan framing dan simbolisme yang konsisten: keras pada prinsip kedaulatan, tapi realistis dalam diplomasi. Komunikasi yang terukur akan membuat publik lebih percaya bahwa sikapnya bukan paradoks, melainkan strategi.
Kelima, pentingnya memperkuat legitimasi moral dan electoral yaitu legitimasi elektoral yang sudah dimiliki melalui kemenangan pemilu. Namun demikian, legitimasi moral perlu diperkuat melalui kebijakan pro-rakyat: pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, dan keberpihakan pada keadilan sosial.
Keberhasilan ini akan membuat publik lebih fokus pada capaian nyata daripada menilai inkonsistensi. Singkatnya, Presiden Prabowo harus menjaga keseimbangan antara idealisme nasionalis dan pragmatisme global, sambil memastikan narasi, kebijakan, dan identitasnya konsisten serta transparan.
Nation-Building
Dalam literatur politik, “negara normal” lazim diartikan sebagai negara yang memiliki pemerintahan efektif, supremasi hukum, keadilan sosial, dan kapasitas institusional yang kuat.
Untuk mencapai itu, beberapa agenda strategis bisa dilakukan, yang meliputi: Penguatan demokrasi dan supremasi hukum. Yaitu, menjamin kebebasan sipil, media, dan oposisi agar demokrasi tidak hanya prosedural, tapi juga substantif. Menegakkan hukum tanpa pandang bulu, terutama dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dan, membangun rule of law yang independen, sehingga negara tidak lagi dipersepsikan otoriter.
Reformasi birokrasi dan institusi negara, yaitu menyederhanakan birokrasi agar pelayanan publik lebih cepat, transparan, dan efisien. Mengurangi praktik patronase politik (politik balas budi) dengan meritokrasi. Dan, membangun institusi pertahanan, hukum, dan keuangan yang tangguh, bukan bergantung pada figur personal.
Perekonomian yang sehat dan berkeadilan, yakni pentingnya melakukan diversifikasi ekonomi dari ketergantungan pada SDA (batubara, nikel) menuju industri berbasis inovasi dan teknologi. Memperkuat ketahanan pangan dan energi agar tidak rentan gejolak global.
Dan, kebijakan redistribusi: pajak progresif, subsidi tepat sasaran, dan jaring pengaman sosial untuk menekan kesenjangan.
Pendidikan dan kebudayaan sebagai fondasi peradaban, yaitu perlunya membangun pendidikan kritis, terbuka, dan berbasis riset, bukan sekadar kurikulum hafalan. Mendorong penguasaan sains, teknologi, dan humaniora untuk membentuk generasi beradab dan kompetitif. Dan, merawat kebudayaan nasional sebagai perekat identitas dan moralitas bangsa.
Etika politik dan kepemimpinan yang beradab, yakni menunjukkan teladan integritas: tidak korup, tidak manipulatif, dan tidak represif. Mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik politik maupun sosial. Dan, menghentikan praktik politik uang dan politik dinasti yang merusak demokrasi.
Hubungan internasional yang berimbang, yaitu menjadi aktor rasional dan berdaulat di dunia, bukan satelit dari kekuatan besar. Diplomasi aktif dalam perdamaian dunia, perubahan iklim, dan kerja sama Selatan–Selatan. Dan, menjaga kawasan Indo-Pasifik tetap stabil, terutama di Laut Natuna Utara, dengan strategi yang realistis tapi bermartabat.
Melakukan rekonsiliasi nasional dan pemulihan memori dengan mekanisme rekonsiliasi dan kebenaran untuk membangun masa depan yang lebih sehat secara moral. Tanpa ini, negara akan terus “sakit” oleh paradoks legitimasi.
Kesimpulan
Untuk membuat Indonesia menjadi negara yang sehat dan berperadaban normal, Presiden Prabowo perlu: Menguatkan hukum dan demokrasi, membangun ekonomi yang adil dan inovatif, menjadikan pendidikan dan kebudayaan sebagai pilar peradaban, dan menjalankan kepemimpinan berintegritas.
Bahkan, Presiden Prabowo sudah membuktikan mengambil langkah pemberantasan korupsi secara tegas dan simbolik dengan menggunakan instrumen OTT (Operasi Tangkap Tangan) terhadap pejabat publik karena terbukti terlibat korupsi.
Jika langkah-langkah ini konsisten dijalankan, maka Presiden Prabowo akan mampu meningkatkan kualitas dan kapasitas APBN setara dengan negara-negara maju lainnya dan mampu menyejahterakan rakyat. Bangsa besar ini pun optimistis Indonesia bisa keluar dari paradoks dan menuju status “negara modern yang bermartabat”.
23 Agustus 2025
