Peningkatan Tata Kelola Plastik: Solusi Terpadu untuk Lingkungan Lebih Bersih dan Berkelanjutan

JAKARTA -- Plastik sekali pakai konvensional kerapkali menjadi tantangan utama dalam menjaga kelestarian lingkungan karena sulit terurai dan menyebabkan tumpukan sampah yang mencemari sungai, lautan, dan tanah. Namun, tantangan terbesar sebenarnya bukanlah plastik itu sendiri, melainkan plastik konvensional yang dipakai dan dibuang tanpa upgrade di sisi material, pemakaian, dan pengelolaan limbah.
Mengutip dari laman emdplasticsoup.org, produksi plastik global mencapai sekitar 300 juta ton per tahun dengan lebih dari 8 juta ton berakhir di lautan. Menurut laporan Jambeck Research Group pada 2015, di Indonesia, sekitar 3,22 juta ton limbah plastik per tahun berpotensi mencemari lingkungan, namun hanya 10-15 persen yang didaur ulang secara efektif.
Jenis plastik sekali pakai seperti kantong plastik, sedotan, dan kemasan makanan umumnya dari polimer yang sulit terurai secara alami dan dapat memakan waktu ratusan tahun. Plastik ini bila dibuang sembarangan ke sungai, laut, atau dibakar sembarangan, memecah menjadi mikroplastik yang tersebar di ekosistem dan membahayakan kesehatan manusia dan biota laut.
Selain itu, pengelolaan sampah plastik yang masih konvensional, yakni tanpa pemilahan atau dibuang ke tempat yang benar, serta pembakaran di incinerator tanpa kontrol emisi, semakin memperparah pencemaran lingkungan.
Masalah utama adalah ketidakcocokan antara material plastik yang lambat terurai dan pola penggunaan serta pengelolaan limbah yang masih sekali buang konvensional. Plastik yang idealnya menjadi solusi praktis justru menjadi ancaman lingkungan karena kesalahan dalam penggunaan dan pengelolaan.
Peralihan ke material yang lebih ramah lingkungan adalah langkah kunci. Pilihan seperti plastik biodegradable atau plastik cepat terurai dan bioplastik berbasis tanaman memberikan harapan, serta teknologi daur ulang inovatif seperti Teknologi Creasolv yang mampu mendaur ulang plastik fleksibel menjadi bahan baku baru berkualitas tinggi.
Salah satu inovasi penting dari Indonesia adalah teknologi Oxium, yaitu aditif biodegradable yang ditambahkan pada plastik konvensional untuk mempercepat biodegradasi plastik melalui dua tahap: oksidasi dan biodegradasi. Plastisitas Oxium memecah rantai polimer panjang menjadi fragmen kecil yang dapat dikonsumsi mikroba, sehingga plastik dapat terurai sempurna menjadi biomassa, air, dan karbon dioksida dalam waktu 2–5 tahun, jauh lebih cepat dibanding plastik biasa yang bisa membutuhkan ratusan tahun.
“Teknologi Oxium mempercepat biodegradasi plastik konvensional menjadi 2 sampai 5 tahun hingga tidak meninggalkan residu plastik. Berbeda dengan plastik biasa yang hanya terfragmentasi menjadi mikroplastik. Teknologi ini juga memperhatikan harga agar produk ramah lingkungan bisa terjangkau masyarakat,” ujar Direktur Ecorasa, Shivan, dikutip dari laman resmi, Senin (8/9/2025).
Oxium dibuat dari bahan mineral alami yang aman dan sudah memenuhi standar internasional seperti ASTM D6954 dan sertifikasi keamanan migrasi makanan Uni Eropa dan Jepang. Berbagai riset menyatakan bahwa plastik dengan Oxium memiliki kemampuan terurai yang lebih cepat dan tidak meninggalkan mikroplastik berbahaya, yang dibuktikan dengan studi interaksi mikroalga Dunaliella salina yang menunjukkan pertumbuhan lebih baik di lingkungan plastik Oxium dibanding plastik HDPE biasa.
“Oxium aman karena berbahan mineral alami yang tidak berbahaya dan telah teruji lewat sertifikasi internasional. Plastik Oxium terurai menjadi biomassa tanpa membentuk mikroplastik,” cetus Tommy Tjiptadjaja, CEO Greenhope Indonesia.
Meskipun Oxium adalah produk teknologi aditif biodegradable yang aman, tetap diperlukan manajemen limbah yang tepat agar proses biodegradasi berjalan optimal. Transisi ke biodegradable harus didukung infrastruktur pengelolaan limbah yang baik agar tidak menimbulkan masalah baru.
Penerapan pola konsumsi yang berkelanjutan sangat penting dengan mengurangi produk sekali pakai dan mengadopsi produk yang dapat dipakai ulang (reusable). Contohnya adalah kantong kain, sedotan stainless steel atau bambu, serta wadah makanan dari kaca atau stainless steel.
Konsep reduce, reuse, dan recycle harus diintegrasikan ke dalam kebiasaan masyarakat untuk mengurangi masuknya plastik sekali pakai ke lingkungan. Edukasi dan kampanye publik menjadi faktor penting dalam membentuk kesadaran dan perilaku yang mendukung kelestarian lingkungan.
Pengelolaan limbah plastik harus dilakukan dengan memisahkan sampah di sumbernya, membawa ke bank sampah, dan mengirim ke fasilitas daur ulang yang modern dan bersertifikat. Menghindari pembuangan sembarangan ke sungai atau pembakaran plastik di incinerator tanpa pengendalian emisi sangat penting untuk mencegah pencemaran baru.
Bukan plastik secara umum yang menjadi masalah, melainkan plastik konvensional sekali pakai yang digunakan dan dibuang secara konvensional tanpa upgrade pada material, pola pemakaian, dan pengelolaan limbah. Dengan menggabungkan material plastik cepat terurai seperti Oxium, pola konsumsi yang berkelanjutan, serta pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, dampak negatif plastik terhadap lingkungan dapat dikurangi secara signifikan.
Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sangat diperlukan dalam menyediakan infrastruktur pengelolaan limbah yang memadai dan regulasi yang ketat. Dukungan teknologi inovatif juga menjadi kunci menuju lingkungan yang lebih bersih dan lestari bagi generasi mendatang. (*)
