Lulus Cumlaude, Deby Mardina Angkat Isu Hukum bagi Wajib Pajak Badan Usaha dalam Disertasinya

JAKARTA -- Universitas Borobudur menggelar sidang terbuka promosi doktor di bidang ilmu hukum, Selasa, 16 September 2025, di Gedung D, Kampus A Universitas Borobudur, Jakarta Timur. Kali ini, sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum menjadi momen penting bagi Dr. Deby Mardina, S.I.kom., S.H., M.H yang berhasil lulus dengan menyandang predikat cumlaude.
Pengusaha di bidang Oil and Gas Companies ini merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari Angkatan 26 yang berhasil meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Badan Usaha dalam Penerapan Sanksi Denda Mewujudkan Harmonisasi Peraturan Pajak yang Berkeadilan".
Deby Mardina lulus dari Kampus Unggul Universitas Borobudur di bawah bimbingan dari Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. selaku Promotor dan Dr. Azis Budianto, S.H., M.S. selaku Ko-Promotor.
Deby mengemukakan penelitian yang ia buat berangkat dari sistem perpajakan Indonesia yang masih menghadapi tantangan serius dalam memberikan perlindungan hukum bagi wajib pajak, terutama dalam penerapan sanksi pidana denda berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ketentuan ini, kata Deby, yang seharusnya berfungsi sebagai ultimum remedium (langkah terakhir) dalam penegakan hukum pajak, sering digunakan sebagai primum remedium (langkah pertama). Hal ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi administratif meskipun kesalahan yang dilakukan tidak disertai niat jahat (mens rea).
Lebih lanjut Deby menjelaskan bahwa penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menggunakan Teori Keadilan sebagai grand theory, Teori Perlindungan Hukum dan Teori Kepastian Hukum sebagai middle theory, serta Teori Penegakan Hukum sebagai applied theory.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap wajib pajak belum optimal, baik secara preventif maupun represif. Tak hanya itu, mekanisme administratif sering tidak dimaksimalkan yang berimplikasi pada ketimpangan hukum.
"Penelitian ini merekomendasikan reformulasi pendekatan hukum perpajakan melalui model perlindungan hukum dan pemisahan yang jelas antara pelanggaran administratif dan pidana," kata Deby di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Managing Partner di Kantor Hukum DebyMardina & CO Counsellor Attorney at Law ini menguraikan bahwa tujuan dari penelitiannya untuk menganalisis penerapan sanksi denda sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam praktik penegakan hukum perpajakan di Indonesia.
Kemudian, juga menganalisis perlindungan hukum bagi wajib pajak dalam menghadapi dugaan tindak pidana pajak berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Membuat model perlindungan hukum terhadap wajib pajak dalam penerapan sanksi denda yang berkeadilan," jelas Deby.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, Deby menyatakan, penerapan sanksi pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan i UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan masih menghadapi masalah proporsionalitas dan belum secara jelas membedakan antara kesalahan administratif dan tindak pidana pajak. "Akibatnya, banyak wajib pajak dikriminalisasi meskipun kesalahan mereka bersifat administratif dan prinsip ultimum remedium sering diabaikan,"
Deby menekankan bahwa perlindungan hukum bagi wajib pajak belum optimal karena kualifikasi pelanggaran tidak jelas sehingga menimbulkan risiko kriminalisasi berlebihan dan melemahkan kepastian hukum.
"Penerapan asas keadilan masih lemah, baik secara substantif maupun prosedural. Prinsip una via yang melarang sanksi ganda belum diterapkan secara konsisten yang berdampak pada menurunnya kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan," papar Deby.
Untuk itu, Deby berharap agar pemerintah merevisi Pasal 39 ayat (1) huruf c, d, dan i untuk memperjelas batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana. Pendekatan restoratif dan non-litigasi harus diutamakan agar fokus tetap pada optimalisasi penerimaan negara.
"Mereformasi kebijakan perpajakan dengan mengintegrasikan prinsip una via dan perlindungan hukum yang proporsional untuk mencegah sanksi ganda. Paradigma penegakan hukum harus diubah dari represif menjadi edukatif dan preventif," tegas Deby.
Serta, lanjut Deby, menyusun produk hukum turunan yang responsif dan diferensiatif agar sanksi dapat diterapkan sesuai dengan tingkat kesalahan. Penegakan hukum yang transparan, proporsional, dan berbasis kepastian hukum akan meningkatkan rasa keadilan dan kepercayaan masyarakat.
Harapan Deby, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam memahami bagaimana hukum dapat melindungi hak-hak wajib pajak. Salah satu tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mencari solusi dalam memperbaiki sistem perpajakan agar masyarakat lebih patuh dalam melaksanakan kewajiban pajaknya.
"Dengan meningkatkan kepatuhan pajak, diharapkan penerimaan negara melalui pajak juga akan meningkat, kepatuhan pajak dan penerimaan negara bisa diperoleh secara optimal," ujar Deby menandaskan. (*)
