Ini Alasan Dhani Kristianto Angkat Isu Hukum Hubungan Fungsional Penyidik KPK dengan Penyidik Polri

JAKARTA -- Universitas Borobudur menggelar sidang terbuka promosi doktor di bidang ilmu hukum, Selasa, 16 September 2025, di Gedung D, Kampus A Universitas Borobudur, Jakarta Timur. Kali ini, sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum menjadi momen penting bagi Dr. Dhani Kristianto, S.I.K., M.H yang berhasil lulus dengan menyandang predikat cumlaude.
Dhani merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari Angkatan 26. Ia berhasil meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kontruksi Hukum Hubungan Fungsional Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Penyidik Polri dalam Menjalankan Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang Berkeadilan".
Dhani lulus dari Kampus Unggul Universitas Borobudur di bawah bimbingan dari Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., M.M selaku Promotor dan Dr. Azis Budianto, S.H., M.S. selaku Ko-Promotor.
Dhani mengemukakan penelitian yang ia buat berangkat dari tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes. KPK diberi kewenangan fungsional sebagai penyidik dan supervisor terhadap penyidik kepolisian dalam upaya pemberantasan korupsi.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan empiris, serta didukung oleh teori-teori seperti Teori Negara Hukum, Teori Penegakan Hukum, Teori Hukum Fungsional, Teori Sistem Hukum (Legal System Theory), Teori Kewenangan, Teori Keadilan, dan Teori Hukum Progresif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendirian KPK berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 merupakan bentuk apresiasi negara untuk mewujudkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
"Kewenangan fungsional KPK adalah legitimasi formal dari negara untuk mencapai tujuan hukum yang berlandaskan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, terutama karena penegakan hukum oleh aparat sebelumnya dinilai kurang optimal," kata Dhani, di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Untuk menjalankan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi, Dhani mengatakan, diperlukan model konstruksi hubungan fungsional antara penyidik KPK dan Polri yang dapat dipertanggungjawabkan demi tujuan hukum, yaitu kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan.
Untuk itu, Dhani sebagai peneliti mengusulkan model "Sinergi Asimetris Terbimbing". Model ini bertujuan untuk menyelaraskan kewenangan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang terintegrasi dengan tujuan dan pembangunan hukum nasional.
"Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan perlunya model hubungan fungsional antara penyidik KPK dan Polri dalam melaksanakan kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia," jelas Dhani.
Tujuan penelitian ini disampaikan Dhani untuk mengkaji dan membahas alasan mengapa KPK diberi kewenangan dalam memberantas tindak pidana korupsi yang berkeadilan di Indonesia. Juga mengkaji dan membahas konstruksi hukum hubungan fungsional antara penyidik KPK dan penyidik Polri dalam memberantas tindak pidana korupsi yang berkeadilan di Indonesia.
Untuk itu, lanjut Dhani, pembentukan KPK berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 merupakan respons konkret negara terhadap tuntutan reformasi untuk menegakkan supremasi hukum, memberantas korupsi, dan menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Kewenangan fungsional KPK adalah manifestasi dari legitimasi hukum untuk mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum secara menyeluruh. "Kehadiran KPK dengan mandat yang tegas bertujuan untuk menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban korupsi, mengingat ketidakoptimalan penegakan hukum oleh aparat sebelumnya," ucap Dhani.
Secara komparatif, negara-negara yang berhasil memberantas korupsi juga membentuk lembaga khusus yang independen dan memiliki kewenangan khusus untuk menangani kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Lebih lanjut, Dhani menjelaskan, kewenangan KPK yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan ini dirusak oleh praktik korupsi yang terus merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, KPK didirikan berdasarkan amanat Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999.
"Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 menjadi alasan utama perlunya model baru dalam hubungan fungsional antara KPK dan Polri. Peneliti mengusulkan model "Sinergi Asimetris Terbimbing" sebagai pendekatan konseptual untuk mengintegrasikan kewenangan penegakan hukum kedua lembaga secara komplementer, dengan tetap mengedepankan supremasi hukum dan efektivitas kelembagaan," papar Dhani.
Kewenangan KPK untuk melakukan koordinasi, supervisi, hingga pengambilalihan penyidikan yang tidak optimal di kepolisian diatur dalam Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019. Hubungan fungsional ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab moral dan yuridis untuk menjamin integritas penegakan hukum.
"Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen kuat dari para pimpinan lembaga penegak hukum agar penegakan hukum berjalan secara profesional, proporsional, dan transparan," kata Dhani menegaskan.
Dhani lantas mendorong perlunya political will dari Kepala Negara atau Presiden RI untuk menjelaskan kepada para pejabat negara, khususnya di lingkup kekuasaan yudikatif bahwa keberadaan KPK beserta tugas dan wewenangnya adalah kehendak negara untuk melakukan tindakan optimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Selain itu, sambung Dhani, juga sinergi antara KPK dan institusi penegak hukum lainnya, terutama dengan penyidik kepolisian, harus terus ditingkatkan kualitasnya, dengan memandang satu sama lain sebagai counter partner.
"Model hubungan fungsional antara penyidik KPK dan Polri hendaknya terus diciptakan agar selaras, setujuan, dan seprofesional mungkin, mulai dari tingkat pusat hingga ke wilayah hukum polres/polresta di seluruh Indonesia," tukas Dhani.
Dengan demikian, kata Dhani, koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK dapat berjalan lebih efektif sesuai ketentuan, memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat, serta mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana korupsi. (*)
