Lahir Sebagai Kaisar, Meninggal Sebagai Tukang Kebun, Inilah Kisah Aisin Gioro Puyi

Serba Serbi  

Meskipun Puyi menjadi kaisar, dia tetap menjadi boneka pemerintah Jepang dan tidak memiliki otoritas yang sah. Satu-satunya tugasnya adalah menandatangani dan menegakkan kebijakan Jepang di Manchukuo. Pecahnya Perang Tiongkok-Jepang Kedua menjelaskan kepada Puyi bahwa Jepang tidak berniat memulihkan Dinasti Qing. Ketika menaklukkan Nanjing dan Shanghai, boneka Jepang baru diciptakan alih-alih menambahkan lebih banyak wilayah ke rezim Manchukuo Puyi.

Meskipun Jepang kalah di Atol Midway dan Laut Filipina, media Jepang terus menggambarkan militer mereka sebagai pemenang. Karena itu, Puyi tidak menyadari kejatuhan Jepang sampai tahun 1944.

Pada akhir Perang Dunia II 1945, Soviet menyerang Manchuria yang saat itu dikuasai Jepang dan Puyi ditangkap.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Karena pasukan Manchukuo dan Jepang tidak memiliki peluang melawan Soviet, Puyi berusaha melarikan diri ke Korea. Namun, karena kekacauan yang disebabkan oleh pemukim dan tentara Jepang yang mencoba naik kereta, kereta itu gagal mencapai Korea.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Puyi secara resmi turun takhta, yang menandai berakhirnya Manchukuo.

Puyi mencoba melarikan diri untuk kedua kalinya, kali ini ke Jepang, dengan pesawat di Mukden. Puyi terpaksa harus memilih siapa yang akan dibawa karena keterbatasan tempat duduk. Atase Rumah Tangga Kekaisaran, Yasunori Yoshioka, meyakinkan Puyi untuk meninggalkan Wanrong dan wanita lainnya di keluarganya. Ia menganggap mereka tidak dapat menghadapi bahaya penangkapan oleh Soviet.

Puyi berhasil mencapai Mukden, tempat pesawat Jepang telah menunggu, tetapi Soviet menangkapnya sebelum dia dapat menaiki pesawat kedua.

Stalin memutuskan untuk membiarkan Puyi tetap hidup. Meskipun ia tahanan Soviet, Puyi masih diperlakukan dengan hormat dan diizinkan untuk memiliki beberapa pelayan.

Chang Kai-Shek berulang kali meminta Soviet mengembalikan Puyi ke Tiongkok untuk diadili, tetapi Stalin menolak karena Partai Komunis Tiongkok. Sepupu Puyi, Kawashima Yoshiko, ditangkap oleh Kuomintang dan dieksekusi di depan umum karena pengkhianatan tingkat tinggi.

Namun keberuntungan lagi lagi di tangan Puyi, tak biasanya kaum komunis yang anti feodalisme baik pada kaum bangsawan, apalagi kaum Bolshevik Rusia dulu pernah membantai keluarga Tsar Nicholas 2. Soviet malah membebaskan Puyi dan mendeportasinnya ke China.

Karena tidak cukup bukti untuk menghukum Puyi sebagai penjahat Perang Dunia II, Hakim Sir William Webb memerintahkan Puyi keluar dari ruangan. Frustrasi akan kesaksian mantan kaisar itu, hakim menyatakan pemeriksaan sidang lebih lanjut sama sekali tidak berguna.

Meski menjadi kolaborator Pemerintah Jepang, Puyi tidak pernah diadili sebagai penjahat perang. Di Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh, Puyi diuji sebagai saksi. Ia mengeklaim bahwa ditahan oleh Jepang di luar keinginannya. Jelas bagi para hakim bahwa Puyi mengatakan apa yang diperlukan untuk melindungi dirinya sendiri.

Lagi lagi keberuntungan ada di tangan Puyi saat itu China yang dilihat Puyi pasca- Perang Dunia II berbeda dengan China yang dulu ia lihat ketika masih anak anak.

Sekembalinya ke China, pemimpin republik Mao Zedong tak mengeksekusi mati Puyi dan memberikannya tempat tinggal yang layak meski tak seperti istana yang biasa ia tinggali.

Mao Zedong berpendapat jika keruntuhan dan kekacauan masa akhir Dinasti Qing bukan salah Puyi karena saat itu dia masih balita, tapi bekerja sama dengan penjajah Jepang adalah dosa yang mematikan. Untuk mengubah mental feodal Puyi, Mao memberikan pendidikan pada Puyi agar bisa menjadi seorang komunis sejati.

Puyi kembali ke Beijing pada 1959 dan mendapatkan pekerjaan sebagai asisten di Kebun Raya Beijing, meski bekerja sebagai tukang kebun dia pernah tersesat di jalan. Sang mantan kaisar juga sering mengunjungi Kota Terlarang yang telah menjadi museum dan memandu turis berkeliling istana. Untuk mengunjungi bekas istananya, ia pun harus merogoh koceknya, ironis memang.

Pada tahun 1962, Puyi menikah dengan Li Shuxian, seorang perawat rumah sakit Tiongkok. Tidak seperti istri-istrinya yang lain, Puyi dan Li Shuxian tampaknya memiliki hubungan cinta sampai kematiannya.

Dua tahun kemudian, Puyi mulai bekerja sebagai editor di departemen sastra Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok. Puyi terus membuktikan kesetiaannya kepada Partai Komunis dengan selalu memuji pemerintahan Mao dalam wawancara, artikel, dan otobiografinya.

Pada 17 Oktober 1967, pada usia 61 tahun, Puyi meninggal di Rumah Sakit Anti-Imperialis Beijing karena kanker ginjal dan penyakit jantung.

Kombinasi kecaman dan rasa kasihan muncul ketika membaca kisah hidup kaisar Tiongkok yang terakhir ini. Puyi adalah kaisar termuda Tiongkok pada usia dua tahun, menjabat sebagai kaisar Dinasti Qing selama empat tahun, dan menjadi pemimpin Manchukuo selama 13 tahun.

Sebagai pemimpin, Puyi tidak pernah memiliki otoritas yang sah. Sejak usia muda, dia dipersiapkan untuk menjadi penguasa boneka dan terus dimanipulasi oleh berbagai rezim demi keuntungan mereka.

Banyak yang bingung, Puyi sangat sial dalam hidupnya karena penuh tragedi atau justru beruntung karena berkali kali selamat dari maut yang menantinya?

Beruntung karena ia masih bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri, hak istimewanya dan keturunan klan Aishin Gioro juga relatif sama seperti saat mereka jadi klan utama Tiongkok.

Kalau keturunan Kaisar Wilhelm II baru bisa balik dan tidak bisa berpolitik setelah Kaisar Wilhelm II meninggal, klan Aishin Gioro digotong Puyi balik ke kancah politik Tiongkok saat ia masih hidup. Jabatan ia sebagai anggota DPR-nya RRT angkatan ketiga.

Puyi juga masih menjabat sebagai anggota DPR-nya RRT saat ia meninggal, itu sesuatu yang wow mengingat tidak ada kaisar terakhir dinasti dalam sejarah dunia yang mampu balik menjadi elite politik di negara bekas kekuasaannya lagi setelah dinastinya dijatuhkan.

Puyi mengaku jika dia merasa lebih bahagia hidup sebagai tukang kebun daripada ketika dia menjadi kaisar yang tak bertanggung jawab seperti dulu. Dia hidup melewati berbagai era, era Dinasti Qing, revolusi industri, dan imperlisme modern, dan Perang Dunia I dan II, tapi satu satunya keinginan terbesarnya adalah hidup dengan tenang.

Pada akhirnya kaisar tersebut meninggal tanpa memiliki anak... The Last Emperor.

(Damar Pratama Yuwanto/berbagai sumber)

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image