Wizards Heavens Gate: Prolog

Pustaka  

Aku ingat dengan kejadian mengerikan saat masih hidup di bumi. Di sudut studio yang gelap, lampu-lampu sorot hanya menerangi wajah-wajah cemas para pembawa berita televisi. Suara berat dan serak mengumumkan kabar tragis yang tidak dapat dipercaya:

"Pagi ini, dunia seperti yang kita kenal telah berubah selamanya. Bangsa Reptilians, entitas alien yang disembunyikan di antara kita selama ratusan tahun, telah melancarkan serangan besar-besaran terhadap bumi. Kota-kota besar di seluruh dunia diliputi kehancuran. Para pemimpin dan pejabat yang kita kira adalah manusia, ternyata adalah agen-agen dari ras asing ini."

Suasana siaran terasa tegang. Layar di belakang mereka dipenuhi dengan gambar-gambar kehancuran yang tak terbayangkan: gedung-gedung hancur, jalan-jalan yang dipenuhi reruntuhan, dan orang-orang yang berlarian mencari tempat berlindung.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Ini bukanlah hanya invasi fisik, tetapi juga invasi dalam hati dan jiwa kita. Selama ini, mereka telah memanipulasi kebijakan dunia, mengatur perang dan perdamaian sesuai dengan agenda mereka sendiri. Kita hidup dalam bayang-bayang mereka."

Pembawa berita mencoba untuk tetap tenang, meskipun kepanikan mulai terasa di suara paraunya.

"Pertanyaan besar yang kini kita hadapi: bagaimana kita bisa melawan musuh yang bersembunyi di antara kita? Apakah masih ada harapan bagi umat manusia? Para ilmuwan dan pakar strategi sedang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan ini. Namun, satu hal yang pasti, dunia kita telah berada dalam perang yang tidak kita duga."

Layar di belakang mereka berubah, menampilkan wawancara singkat dengan seorang ilmuwan yang wajahnya penuh dengan kekhawatiran.

"Kami tidak bisa lagi menganggap enteng ancaman ini. Mereka memiliki teknologi dan kekuatan yang jauh melampaui apa yang bisa kita bayangkan. Kita perlu bersatu sebagai umat manusia, melupakan perbedaan kita, dan bersiap untuk perang terbesar yang pernah dihadapi oleh umat manusia."

Siaran ini tidak hanya sekadar berita. Ini adalah panggilan putus asa untuk bertahan hidup, untuk menemukan kekuatan dalam persatuan, dan untuk berjuang melawan musuh yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Aku berlari secepat yang aku bisa melalui lorong-lorong sempit di antara bangunan yang runtuh di Jakarta. Suara gemuruh ledakan dan serangan energi dari langit membuat hatiku berdegup kencang. Aku menggenggam erat tangan ibuku sambil mengikuti ayahku yang memimpin jalan menuju tempat perlindungan. Di belakang mereka, terdengar suara-suara berteriak dan mengeluh, menciptakan latar belakang yang mencekam dari kepanikan massal.

"Reza, ikuti aku, sayang!" seru ibuku dengan suara terengah-engah, tetapi penuh dengan ketegasan. Mereka berlari menuju tempat yang dianggap aman, di tengah kehancuran dan asap tebal yang menyelimuti udara. Aku yang baru saja lulus SD bisa merasakan panas yang tidak biasa di atmosfer, serta bau yang asing dan tajam yang menusuk hidungku.

Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terjadi tidak jauh dari mereka. Detik itu, duniaku berubah menjadi pemandangan kekacauan. Tubuh ibuku terlempar dari sampingku oleh gelombang kejut, dan aku terpental ke belakang, jatuh terjerembab ke tanah keras. Aku berusaha bangkit, melihat ke sekeliling dengan mata yang penuh dengan ketakutan.

"Ibu! Ayah!" teriakku dengan putus asa, namun hanya suara dentuman dan deru api yang menjawab panggilanku. Aku melihat rumah-rumah terbakar, jalan-jalan yang dipenuhi dengan puing-puing, dan orang-orang yang berlarian ke arah yang tak menentu.

Ketika aku berusaha untuk bangkit, aku merasakan sesuatu yang tajam menusuk punggungku. Aku memandang ke atas dan melihat pesawat luar angkasa besar yang melayang di atasku, mengeluarkan sinar-sinar biru yang mematikan. Aku merasakan panas menusuk tubuhku saat sinar-sinar itu menghantam tanah dan menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Aku yakin dunia sudah hancur dan tak ada harapan lagi untuk umat manusia.

Sebagai manusia aku hanyalah butiran debu dibandingkan agungnya alam semesta, ketika aku bertanya mengapa semua takdir ini terjadi? Alam semesta hanya diam dengan segala keagungannya, memaksaku memaknai sendiri penderitaan ini.

Segalanya terasa seperti bergerak dalam waktu lambat. Aku merasakan kepanikan luar biasa dan kehilangan yang tak terlukiskan saat tersapu gelombang energi dari pesawat itu. Tubuhku terangkat dari tanah.

*) Damar Pratama adalah seorang remaja yang begitu menggemari kata-kata. Tak heran jika ia begitu senang membaca dan lalu menggoreskan pena. Damar yang lahir di Jakarta, 11 Juli 2005, merupakan penikmat buku-buku karya Tere Liye, Pramoedya Ananta Toer, Gol A Gong, Danarto, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, dan Sapardi Djoko Damono. Buku novel pertama Damar berjudul Miggleland Dream dibuat saat ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA Negeri 5 Depok. Kini Mahasiswa Psikologi Universitas Gunadarma Depok ini sedang menyelesaikan proyek pribadi menggarap sejumlah buku fiksi.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image