Kolom

Sudahkah Pengidap Gangguan Mental dan Anak Neurodivergent Merdeka di Negeri Ini?

Masalah gangguan mental/ilustrasi. (Foto: republika.co.id)

Oleh Damar Pratama Yuwanto, Mahasiswa Psikologi Program Sarjana Magister (Sarmag) Universitas Gunadarma

Ketika berbicara tentang kemerdekaan, isu kesehatan mental selalu terlupakan. Kurangnya tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater, serta fasilitas kesehatan yang memadai, membuat banyak orang yang sebenarnya membutuhkan bantuan tidak bisa mendapatkannya.

Dalam rasio perbandingan jumlah tenaga kesehatan mental dan jumlah penduduk Indonesia, seorang psikiater harus harus melayani sekitar 250.000 penduduk Indonesia dan satu psikolog harus melayani sekitar 90.000 penduduk Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Secara umum, jika seseorang memerlukan terapi berbasis pembicaraan dan tidak membutuhkan obat, psikolog bisa menjadi pilihan. Namun, jika mereka memerlukan penilaian medis atau pengobatan, atau jika gangguan mereka cukup serius, menemui psikiater adalah langkah yang tepat.

Menurut data Kemenkes RI tahun 2023, sebanyak 6,1 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan mental adalah kondisi kesehatan yang mengganggu pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi di antaranya, contoh yang paling terkenal adalah skizofrenia.

Berbeda dengan gangguan mental, neurodivergent adalah sebutan untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki cara kerja otak yang berbeda dibandingkan mereka yang dianggap standar atau tipikal, contohnya anak yang mengalami autisme, ADHD, disleksia, down syndrom, dan lain sebagainya. Namun tak menutup kemungkinan anak neurodivergent juga mengalami gangguan mental akibat kurangnya dukungan sosial.

Ironisnya, banyak oknum psikolog dan psikiater yang memanfaatkan kesulitan anak-anak berkebutuhan khusus terutama yang neurodivergent sebagai ladang mencari keuntungan, bukan demi kepentingan kemanusiaan dan empati. Orang dengan gangguan mental yang bukan neurodivergent kerapkali juga mengalami nasib sama dengan anak neurodivergent dalam mendapatkan akses ke psikolog atau psikiater.

Biaya konsultasi dan terapi psikologis yang tak terjangkau masyarakat kelas menengah ke bawah dengan merogoh kocek sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta di setiap konsultasi, kerapkali menjadi masalah yang dapat menghancurkan masa depan anak neurodivergent. Makan saja mereka kesulitan, terutama jika gaji orang tua di bawah UMR atau kerja serabutan.

Padahal mendapatkan akses konseling kesehatan mental dan bimbingan perkembangan fisik dan kognitif adalah hak semua anak neurodivergent dan orang dengan gangguan mental, tak hanya dari kalangan mampu.

Tentu ini bukan masalah yang bisa dianggap remeh. Selain bullying yang biasa dialami anak-anak neurodivergent di luar sana, tantangan lain yang dihadapi anak-anak seperti ini yang bernasib sama di Indonesia adalah kesulitan dalam mendapatkan akses ke tenaga kesehatan, seperti psikolog dan psikiater, biayanya kurang terjangkau.

Realita pahit ini mengkhianati tugas psikolog itu sendiri, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia. Inilah yang diungkapkan oleh para psikolog aliran humanistik karena kesehatan mental yang baik berkorelasi dengan kesehatan fisik yang baik, berkorelasi pula dengan rendahnya tingkat kriminalitas, tingginya tingkat pendidikan, dan pendapatan.

Beberapa konsultasi psikolog online gratis, seringkali dipandang kurang efektif dibandingkan pertemuan tatap muka dalam mengobservasi perilaku pasien, khususnya pelayanan yang diberikan jasa psikolog atau terapis yang gratis.

Menurut Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik yang ingin manusia mencapai taraf hidup yang positif, terdapat lima tingkat kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.

Berdasarkan model yang dipaparkan Maslow, akan sulit bagi anak neurodivergent atau orang dengan gangguan mental di Indonesia untuk mampu mencapai tahap aktualisasi diri dan mengembangkan bakatnya. Jangankan berkonsultasi ke psikolog, akibat faktor ekonomi mereka bahkan kesulitan mencapai tahap fisiologis dan rasa aman.

Baca selanjutnya...