Kolom

Air Mata Bu Mega, Tradisi Bung Karno, dan Misi Muhammadiyah

Megawati (tengah) menangis saat berziarah di makam Imam Besar Bukhari di Uzbekistan. (Foto: Antara)

Oleh Hery Sucipto, Direktur Eksekutif Moya Institute & Founder Matra Consulting Indonesia (MCI)

Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri tidak kuasa menahan haru saat berziarah ke makam Imam Besar Al Bukhari di Desa Khartang, Samarkand, Uzbekistan. Imam Al Bukhari adalah perawi hadis Nabi Muhammad SAW yang paling banyak dan paling sahih.

Megawati yang mengenakan pakaian berwarna merah dan kerudung putih bahkan sampai meneteskan air mata di hadapan makam Imam Besar Al Bukhari di International Scientific Research Center, 20 September 2024. Matanya memerah dan pipi nampak basah. Ia pun terlihat mengusap hidungnya dengan tisu. Entah apa yang berkecamuk di benak Bu Mega kala itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun bila menengok sejarah, bisa jadi Bu Mega sedang teringat dengan kedua orang tuanya. Seperti catatan tulisan tangan yang ia tuangkan saat mengunjungi makam tersebut.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dari kecil saya sudah mengenal Imam Bukhari karena ayah saya Presiden Pertama Republik Indonesia yang oleh rakyat Indonesia disebut Bung Karno. Bagi saya, beliau seorang manusia yang luar biasa membuka tabir pengetahuan Islam dalam bunyi-bunyi yang ada di hadis (petunjuk dari Nabi Muhammad SAW).

Luar biasa sekali untuk membuat manusia-manusia secara Islami tidak hanya melantunkan "suara" Al Quran tapi melaksanakan dengan hadis Nabi Muhammad SAW. Semoga di masa depan seluruh manusia di dunia bisa bersatu secara lahir batin.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Merdeka, Merdeka, Merdeka.

Presiden Kelima Republik Indonesia.

Megawati pun tak lupa membubuhi pesan itu dengan tanda tangannya. Hampir kurang lebih 10 menit putri Proklamator RI Soekarno ini memanjatkan doanya sambil menengadahkan kedua tangannya.

Makam Imam Bukhari memang memiliki benang merah dengan Soekarno. Makam itu ditemukan dan dipugar oleh Pemerintah Uni Soviet atas permintaan Soekarno pada tahun 1956 silam.

Pada saat periode Uni Soviet tengah berkuasa di kawasan Asia Tengah, makam itu dikunci dan dilupakan. Dibiarkan telantar di tengah sunyinya perkebunan warga yang bahkan banyak dari penduduk yang tak menyadari akan keberadaan pusara Sang Imam.

Soekarno menjadi sosok yang dianggap berperan besar dalam menggali dan memunculkan kembali ghirah Keislaman, melalui kunjungannya ke pusara Imam Bukhari. Pada kunjungannya kembali ke Uzbekistan di tahun 1961, Soekarno meminta izin kepada penguasa di sana Nikita Khrushchev untuk mengunjungi pusara Imam Bukhari.

Uni Soviet dan Indonesia yang telah memiliki hubungan bilateral harmonis, tak ingin merusaknya begitu saja. Atas permintaan Presiden Pertama RI itu, Pemerintah Soviet berupaya menemukan dan memugar makam Imam Bukhari demi Soekarno.

Selain kenangan dengan Sang Imam dan Sang Ayah, Megawati tentu juga mengenang ibundanya, Fatmawati. Saat ziarah ke Makam Imam Bukhari, Megawati sengaja menggunakan kerudung yang dahulu dikenakan ibu kandungnya itu. Kerudung tersebut selama ini disimpan dengan baik dan menjadi barang koleksi berharga Megawati dari peninggalan orang tuanya.

Megawati tentu sengaja mengenakan kerudung Fatmawati saat ziarah ke Makam Imam Bukhari karena ingin menunjukkan penghormatan kepada orang tuanya, Fatmawati dan Bung Karno.

Kerudung Megawati dan ziarah ke Makam Imam Bukhari juga menjadi perwujudan misi dakwah Muhammadiyah. Ibunda Megawati, Fatmawati, lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923 dan berasal dari keluarga Muhammadiyah.

Ayah Fatmawati bernama Hasan Din dan ibunya, Siti Jubaidah. Keduanya menjabat sebagai konsul Muhammadiyah dan Aisyiah sejak Fatmawati menginjak usia remaja. Fatmawati, sosok yang berjasa dalam menjahit Sang Saka Merah Putih, pun aktif di organisasi Nasyi’atul ‘Aisyiyah dan terus berkiprah bagi pengembangan dakwah Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.

Ayahanda Megawati, Soekarno, juga banyak belajar tentang Islam hingga menjadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah pada tahun 1938-1942 karena berguru dengan Hassan Tjik Dien yang kemudian menjadi bapak mertuanya lantaran pernikahannya dengan Fatmawati.

Kehadiran dan penghormatan Megawati di makam Imam Bukhari seakan menjadi simbol misi dakwah kultural Muhammadiyah yang mengejar perubahan menuju kultur baru yang berakar pada nilai-nilai Islam yang modern, reformis, dan berkemajuan, sambil menggali potensi dan kecenderungan manusia dalam ranah budaya.

Dakwah kultural merupakan salah satu strategi dakwah yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal, semacam kerudung Fatmawati, di mana dakwah tersebut dilakukan. Pendekatan ini mengakui pentingnya konteks budaya dalam menyampaikan pesan agama.

Kerudung dan tetes air mata sebagai penghormatan kepada perawi hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, Imam Bukhari, dan kedua orang tuanya tentu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bukti, Bu Mega ingin melanjutkan tradisi Bung Karno dan misi dakwah Muhammadiyah.