Bisnis

Pakar dari Universitas Sumatera Utara Ini Minta KPPU Lebih Jeli Selesaikan Aduan Soal RPM

Pakar Persaingan Usaha dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Ningrum Natasya Sirait (tengah). (Foto: Istimewa)

BISNIS -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diminta lebih jeli dalam menelisik laporan terkait Resale Price Maintenance (RPM). Pasalnya, penerapan RPM tidak selalu memberikan dampak buruk bahkan bisa berefek positif di pasar.

"Pada 2007 Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak dengan mengatakan bahwa Resale Price Maintenance itu boleh dengan pertimbangan (penerapan RPM, red) lebih efisien dan tidak mencederai hukum," kata Pakar Persaingan Usaha, Prof Dr Ningrum Natasya Sirait, belum lama ini.

Ningrum menjelaskan bahwa sebelum ada putusan tersebut, penerapan RPM di Amerika Serikat mutlak menyalahi undang-undang. Artinya, sambung dia, hakim juga melihat penerapan RPM di Amerika Serikat dalam kasus saat itu dilihat juga dari alasan apa yang melatarbelakanginya atau rules of reason.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ningrum melanjutkan, alasan-alasan demikian itu pula yang harus didalami oleh KPPU sebelum memutus perkara terkait RPM. Menurutnya, KPPU tidak bisa hanya melihat berdasarkan sudah terpenuhi unsur-unsur pelanggaran hukum saja untuk kemudian diputus bersalah. "Nggak ada, tidak bisa seperti itu. Mesti lebih jeli melihat kenapa perusahaan menerapkan hal itu," jelasnya.

Guru besar Universitas Sumatera Utara (USU) ini melanjutkan, KPPU harus mencari alasan apa hingga siapa yang dicederai dari penerapan RPM tersebut. Ia mengingatkan bahwa persaingan usaha memiliki dua aspek yakni hukum dan ekonomi.

"Jadi pasti ada notifikasinya kenapa dibuat itu (RPM). Larangan eksplisit ada di Pasal 8 UU Nomor 5, tetapi yang saya minta adalah kejelian KPPU untuk memotret apakah itu absolutely per se melanggar dan tidak boleh. Makanya harus melihat siapa yang dicederai dengan adanya ketentuan itu," kata Ningrum menegaskan.

Ningrum meambahkan, penerapan RPM bisa saja menguntungkan konsumen sehingga tidak bisa diputuskan bahwa pelaku usaha bersalah. Ia sekali lagi menegaskan bahwa penyelesaian masalah RPM harus dilihat berdasarkan aspek hukum dan ekonomi.

Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik Ariyanto, mengakui bahwa RPM merupakan perjanjian antara produsen dan distributor yang masih pro-kontra. Ia mengungkapkan, laporan sengketa terkait RPM sangat jarang.

Taufik melanjutkan, RPM bisa jadi ada keuntungan terkait pengawasan dalam jalur distribusi berkenaan dengan harga tetapi juga memiliki kerugian. Ia mengatakan, sudah menjadi tugas KPPU untuk memastikan keuntungan yang diperoleh dari RPM lebih besar daripada kerugian yang dihasilkan.

"Dan ini yang menjadi titik tolak apa yang dilakukan KPPU dalam menghadapi kasus seperti ini," kata Taufik menjelaskan.

Taufik mengatakan bahwa RPM merupakan praktik yang biasa di Indonesia. Artinya, sambung dia, produsen ingin memastikan barang yang dijual sampai ke konsumen dengan standar service dan after sales serta harga yang wajar dan pantas.

Taufik menambahkan, KPPU juga tidak mempermasalahkan setiap pelaku usaha untuk melakukan aksi korporasi hingga manajemen jalur distribusi. Ia mengingatkan, asalkan kebijakan-kebijakan itu dilakukan dengan tetap mematuhi rambu-rambu yang ada.

"Selama RPM tidak menimbulkan perang harga yang tidak terkontrol, terutama dalam jalur distribusi yang sama atau intra brand competition dan agar retailer tidak saling memakan retailer lain untuk produk yang sama," kata Taufik menandaskan.