News

Peneliti Unpad: Kelangkaan Air Turut Sebabkan Terjadinya Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan

Peneliti Unpad Binahayati Rusyidi dalam podcast Hard Talk bertajuk ‘Kelangkaan Air dan Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia’. Foto Dok: Unpad

BANDUNG: Kelangkaan air yang semakin menjadi perhatian dunia, ternyata turut menjadi penyebab terjadinya kekerasan berbasis gender. Fenomena ini diungkap dalam riset yang dilakukan oleh Binahayati Rusyidi, Dosen Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, di Bandung beberapa waktu lalu.

“Penelitian kita memang menemukan adanya evidence bahwa memang kelangkaan air ini berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan tapi konsep yang ada saat ini memang memfokuskan kepada hanya misalnya Gender Based Violence sementara kita menemukan konsep baru yang kita populerkan menjadi Gender Based Water Violence,” ungkapnya.

Bersama tim peneliti lintas negara, dalam riset berjudul "Gender-Based Water Violence": Cross-Cultural Evidence for Severe Harm Associated With Water Insecurity for Women and Girls. Binahayati berhasil menguak keterkaitan antara kelangkaan air dan kekerasan terhadap perempuan, khususnya di Sumba Timur. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami kesulitan akses air.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Di Sumba Timur, perempuan memikul tanggung jawab besar untuk mencari air, meski jaraknya jauh dan kondisinya berbahaya. Tekanan dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan air menempatkan perempuan pada risiko tinggi kekerasan, baik fisik maupun psikologis,” katanya.

Dia bekerja sama dengan peneliti dari Inggris, Peru, dan Amerika Serikat, yakni Stroma Cole, PhD (Westminster University, Inggris), Gabriela Salmon, PhD (Pontificia Universidad Catolica del Peru), dan Paula Tallman, PhD (University of Massachusetts Boston, AS). Penelitian yang didanai oleh hibah kompetisi International Interdisciplinary Research Grant dari British Academy, Inggris.

“Ini menjadi salah satu studi penting yang menyelidiki bagaimana kelangkaan air memengaruhi kehidupan perempuan, terutama dalam konteks kekerasan berbasis gender,” paparnya.

Persinggungan yang Kerap Terabaikan

Kelangkaan air yang melanda berbagai wilayah di dunia, lanjutnya, kerap diidentifikasi sebagai penyebab meningkatnya masalah kesehatan dan pangan. Namun, penelitian ini menunjukkan perempuan, yang secara tradisional berperan dalam mengelola air di rumah tangga, menjadi kelompok yang paling terdampak saat air sulit didapatkan.

"Masih belum banyak dibahas karena mungkin berapa puluh tahun yang lalu fokus kita itu lebih kepada developmental issue yang bukan kepada aspek-aspek yang terkait dengan human rights ya jadi saya pikir itu yang juga tidak mudah karena nggak banyak ya yang mau fokus ke sana," ungkap Binahayati.

Penelitian ini juga menemukan kelangkaan air di Sumba tidak hanya memperburuk kondisi fisik perempuan, tetapi juga memperkuat struktur patriarki yang sudah mengakar. Dalam masyarakat yang masih memegang kuat norma-norma gender tradisional, jelasnya, perempuan diharapkan untuk mengurus rumah tangga, termasuk mencari air.

“Tekanan ini semakin berat ketika akses air semakin sulit. Beberapa perempuan bahkan terpaksa menjual diri demi mendapatkan air bersih untuk keluarganya. Kami melihat di dalam proses mengumpulkan air, membawa air ke rumah, dan melakukan pengelolaan air itu bisa menimbulkan resiko kekerasan terhadap perempuan,” ujar Binahayati

Selain itu, penelitian ini juga mengungkap adanya masalah ketidaksetaraan kelas yang semakin dalam akibat kelangkaan air. Perempuan dari kelompok sosial yang lebih rendah sering kali dipaksa bekerja sebagai budak atau "hamba sahaya" bagi kelompok yang lebih kaya, dengan tugas utama mereka adalah mencari air.

Langkah Kolaboratif untuk Menangani Krisis

Untuk merespons krisis ini, penelitian Binahayati dan timnya tidak hanya berfokus pada pemahaman masalah, tetapi juga berusaha menemukan solusi. Melalui Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para korban, tenaga kesehatan, dan tokoh masyarakat, tim ini menggali lebih dalam tentang persepsi masyarakat terhadap kekerasan dan kelangkaan air. Diskusi ini juga bertujuan untuk mencari jalan keluar yang dapat diterapkan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.

Salah satu solusi yang diajukan adalah meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam komunitas. "Kekerasan terhadap perempuan itu bisa banyak ya punya banyak faktor, tapi yang paling utama biasanya bersumber dari ideologi dan struktur yang patriarkis yang menempatkan perempuan pada kelompok subordinat atau kelompok kelas dua," tegas Binahayati.

Dia mengimbau pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait distribusi air. Distribusi pemerataan itu harus menjadi fokus pemerintah selain juga kita (akademisi) memberikan rekomendasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan." ***