News

Kritik Respons MUI Soal Palestina, Peneliti UII: Pentingnya Narasi dan Agenda Bebas Kepentingan Bisnis

Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI). (Foto: republika.co.id)

JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara, Edo Segara Sutanto, mempertanyakan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam konflik Palestina-Israel. Menurutnya, MUI seharusnya berperan mencerahkan publik, bukan justru aktif mempromosikan produk tertentu.

Hal tersebut dilontarkan Edo menyusul pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Ikhsan Abdullah, yang dinilai seringkali melakukan promosi pada produk air minum dalam kemasan (AMDK) tertentu. Ia menjelaskan bahwa Ikhsan menggunakan istilah Palestina Washing dalam banyak kesempatan.

Palestina washing yang dimaksud adalah upaya pembelaan diri dari merek global yang terafiliasi Israel dengan berpura menaruh simpati kepada Bangsa Palestina. Sayangnya, Edo memantau bahwa pernyataan lanjutan yang dilontarkan Ikhsan adalah bahwa Le Minerale merupakan produk yang tidak terafiliasi Israel.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Memang apa kewenangan MUI dalam mempromosikan produk tertentu terbebas dari afiliasi dengan Israel ke konsumen," kata Edo mempertanyakan tugas dan fungsi MUI yang sebenarnya, Senin (6/1/2025).

Menurut Edo, narasi yang disampaikan Ikhsan terkesan syarat kepentingan bisnis. Lantaran menyiratkan ada perusahaan-perusahaan yang sedang berupaya membela diri karena diduga terafiliasi dengan Israel.

Di saat yang bersamaan, Ikhsan sekaligus mempromosikan bahwa Le Minerale tidak terafiliasi dengan Israel dan merupakan produk lokal sepenuhnya. Edo mengatakan, narasi yang dibangun Ikhsan justru seakan mempraktikkan Palestina Washing dengan memanfaatkan situasi kelam di Palestina.

Edo menilai, tugas MUI, termasuk Ikhsan adalah untuk memastikan afiliasi produk tertentu dengan Israel berdasarkan data-data akurat adalah benar. Ia melanjutkan, yang keliru yakni mengampanyekan produk tertentu, apalagi dilakukan di tengah kemelut kemanusiaan yang terjadi di Palestina.

Akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini berpendapat bahwa MUI seharusnya mencontoh cara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengonfirmasi keterkaitan perusahaan tertentu dengan Israel. Menurutnya, jangan alih-alih mempromosikan klaim tanpa didukung data lengkap dan akurat.

"Memanfaatkan situasi perang untuk kepentingan bisnis adalah tindakan yang sangat tidak etis dan dapat dianggap jahat. Perang seperti konflik Israel-Palestina membawa penderitaan besar bagi jutaan orang," tegas Edo.

Edo menambahkan, kepentingan bisnis yang memanfaatkan Palestina Washing mencakup berbagai bentuk, seperti perusahaan yang menggunakan isu konflik untuk meningkatkan penjualan, selebritas atau influencer yang mengambil posisi tanpa kontribusi nyata, hingga negara atau organisasi yang mengalihkan perhatian dari masalah internal mereka.

Edo melanjutkan, Palestina Washing terjadi ketika entitas tertentu baik itu perusahaan, selebritas, atau bahkan negara memanfaatkan situasi perang Israel-Palestina untuk kepentingan bisnis atau citra mereka. Ia menekankan, pelaku memanfaatkan konflik yang terjadi di Timur Tengah untuk kepentingan pribadi.

Oleh karena itu, Edo menyarankan, lebih baik pihak yang ingin terlibat dalam situasi seperti ini berkontribusi secara nyata, seperti mendonasikan keuntungan untuk lembaga kemanusiaan atau meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perdamaian. Menurutnya, orientasi tindakan pada keuntungan pribadi di tengah penderitaan hanyalah bentuk oportunisme yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

"Meski dalam dunia bisnis, strategi ini sering dianggap wajar, namun eksploitasi penderitaan akibat perang untuk keuntungan pribadi merupakan tindakan yang tidak bermoral," tegas Edo lagi.

Namun demikian, Edo menilai, lebih baik setiap pihak fokus membantu warga yang menjadi korban kekejaman tentara Israel. Ia melanjutkan, menjaga stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri perlu dikedepankan dibanding saling menjatuhkan dengan memanfaatkan konflik kemanusiaan yang ada.