Kolom

Menengok Persaudaraan Lintas Batas Indonesia-Timor Leste

Hamidin. (Foto: Humas BNPP RI)

Oleh Drs. Hamidin (Kelompok Ahli BNPP RI)

Garis batas negara sering tampak tegas di peta, menjadi penanda resmi yang memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain. Namun, ketika kita menapaki kawasan perbatasan Indonesia dan Timor Leste, terutama di kampung-kampung seperti Motaain, Lamaknen, atau Malibaka, batas itu terasa jauh lebih cair.

Kehidupan masyarakat berjalan normal, tanpa tembok yang benar-benar memisahkan. Mereka saling menyapa dengan bahasa yang sama, menggelar ritual adat bersama, hingga menikmati jagung bose dan se’i yang menjadi dua hidangan khas kebanggaan di kedua negara.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Inilah wajah lain dari perbatasan, bukan hanya tentang geopolitik, tetapi juga persaudaraan dan pertalian darah yang melintasi garis batas.

Sejarah mencatat, Pulau Timor dihuni oleh beragam suku dan klan, namun sejatinya mereka adalah satu rumpun. Suku Tetun misalnya, tersebar luas di Kabupaten Belu dan Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT), sekaligus menjadi kelompok mayoritas di Timor Leste. Bahasa Tetun bahkan digunakan sebagai bahasa resmi di Dili, sekaligus menjadi bahasa sehari-hari di Atambua.

Selain itu, adapula Suku Bunak yang mendiami wilayah Lamaknen (Indonesia) hingga Distrik Bobonaro (Timor Leste). Meski secara politik terpisah, ikatan darah, perkawinan lintas batas, dan ritual adat tetap menjaga mereka sebagai satu keluarga besar.

Tradisi adat di perbatasan masih begitu kuat. Perkawinan adat misalnya, tak lepas dari prosesi belis, yakni pemberian mahar berupa kerbau, kuda, atau kain tenun. Nilainya bukan hanya soal materi, tetapi juga simbol kehormatan dan ikatan sosial antar-marga.

Rumah adat atau uma lulik juga menjadi simbol persatuan budaya. Filosofi yang melekat pada rumah adat ini sama, baik di Belu maupun Distrik Ainaro.

Bahkan upacara adat seperti panen atau perayaan perdamaian sering digelar lintas negara. Bagi mereka, batas negara hanyalah formalitas, sementara adat dan leluhur jauh lebih tua serta lebih kuat mengikat.

Tenun ikat di Belu dan Malaka serta tais di Timor Leste adalah simbol warisan budaya yang menyatukan. Motifnya sarat makna kosmologi, merepresentasikan hubungan manusia dengan alam dan leluhur.

Dalam pertemuan adat lintas batas, kain tenun dan tais sering hadir berdampingan, seakan menegaskan bahwa keduanya adalah dua wajah dari satu warisan budaya yang sama.

Kedekatan budaya juga terasa di meja makan. Hidangan jagung bose hingga jagung yang dimasak dengan kacang merah dan santan, itu juga menjadi makanan pokok sekaligus jamuan adat. Ada pula batar daan, campuran jagung muda, sayuran, dan kacang merah.

Sementara itu, se’i daging sapi atau babi yang diasap dengan kayu kosambi, menjadi lauk khas yang kini populer hingga ke Kupang dan Dili.

Minuman sopi atau tuak hasil fermentasi nira lontar dan aren juga hadir bukan sekadar sebagai minuman, melainkan simbol persaudaraan. Ia diminum bersama sebagai tanda persahabatan yang erat.

Bahasa menjadi media pemersatu yang kuat. Bahasa Tetun dipakai luas di kedua negara, dan di Pasar Atambua masyarakat dengan mudah beralih dari Tetun ke Bunak atau Kemak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meski ada dua negara, kehidupan budaya tetap berdetak sebagai satu komunitas yang utuh.

Di kawasan perbatasan, identitas nasional memang berbeda, namun identitas kultural tetap sama. Banyak keluarga yang anggotanya terpisah secara kewarganegaraan, sebagian warga Indonesia, sebagian lagi Timor Leste. Meski begitu, mereka tetap saling mengunjungi, menikah, hingga menggelar upacara adat bersama.

Bagi masyarakat perbatasan, istilah saudara lintas batas bukan jargon, melainkan realitas kehidupan sehari-hari. Inilah yang membuat perbatasan Indonesia–Timor Leste istimewa: garis hukum boleh memisahkan, tetapi budaya selalu menyatukan.

Garis batas negara memang lahir dari sejarah politik modern, tetapi budaya dan adat jauh lebih tua daripada itu.

Suku-suku di Timor telah hidup berdampingan ratusan tahun sebelum ada Indonesia maupun Timor Leste. Kesamaan bahasa, adat, makanan, hingga tenun adalah bukti nyata bahwa mereka satu rumpun.

Hingga hari ini, di tengah dinamika politik, warisan persaudaraan itu terus hidup. Masyarakat di Atambua dan Bobonaro masih bertemu dalam pesta adat; kain tenun dan tais masih menjadi simbol kebanggaan; jagung bose masih disantap bersama.

Semua itu mengingatkan kita bahwa perbatasan bukan sekadar garis pemisah, melainkan rumah bersama. Sebuah rumah besar yang kita sebut: budaya Timor.

23 Agustus 2025

Berita Terkait

Image

BNPP RI Luncurkan Program PLBN SAKTI di Motaain, Dorong Tapal Batas Indonesia Jadi Pusat Aktivitas Kreatif

Image

PT PFN Rangkul BNPP RI untuk Gelar Festival Film Pendek Angkat Potret Masyarakat di Perbatasan

Image

Menjaga Perbatasan Negara, Bukan Sekadar Menjaga Garis Imajiner di Peta

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

email: caricuan.republika@gmail.com