Bersamaan HUT Ke-15 Aliansi Kebangsaan, Buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? Karya Yudi Latif Diluncurkan
JAKARTA -- Aliansi Kebangsaan menggelar syukuran Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-15 sekaligus peluncuran buku berjudul “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” karya Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, di Hotel Sultan, Jakarta, pada Rabu (29/10/2025). Buku setebal 750 halaman yang disusun secara marathon selama 3 tahun itu, menjadi sumbangan pemikiran cemerlang yang dapat menjadi acuan bagi pembangunan masa depan Indonesia dari seorang cendekiawan terkemuka.
Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh antara lain Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat, Ketua Dewan Pembina Nurcholis Madjid Society Ori Komariah Madjid, Pendiri Yayasan Dana Darma Pancasila Ir Aburizal Bakrie, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Rakyat periode 1993–1998 Siswono Yudo Husodo, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Laode Kamaluddin, Senator RI asal Sumatera Barat (Sumbar) Irman Gusmandan, dan sejumlah tokoh kebangsaan lainnya.
Buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Gramedia menjadi sebuah refleksi dan bahan perenungan tentang bagaimana peran Indonesia dalam tataran dunia yang sedemikian penting dan strategis. Buku tersebut mengupas bagaimana kekayaan alam, kebijaksanaan, serta peradaban yang terbangun di Indonesia tak hanya berperan di tengah kehidupan masyarakat tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap perkembangan dunia.
“Namun, selama ratusan tahun, hal itu tidak terungkap akibat kolonialisme yang menghegemoni pandangan dunia sekaligus mencerabut masyarakat dari akar identitasnya,” kata Yudi Latif.
Oleh karena itu, penulisan sejarah yang bebas dari bias dan manipulasi untuk merekonstruksi jati diri bangsa sebagai bangsa yang punya signifikansi di setiap fase perjalanan dunia sangatlah penting. Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? merupakan buku kelima dengan tema Pancasila dan kebangsaan yang dituliskan oleh Yudi Latif selama lebih dari satu dekade Negara Paripurna.
Yudi juga menulis pedoman transformasi sosial dalam buku. ”Setelah empat buku itu, saya berpikir apa yang belum saya lakukan? Ternyata yang belum adalah Pancasila untuk dunia,” ungkapnya.
Dalam sambutannya, Yudi menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara yang mengandung nilai keadilan dan kemanusiaan, misalnya, telah menjadi inspirasi bersatunya bangsa-bangsa terjajah untuk berhimpun di Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 guna melawan penjajahan. Semangat tersebut hingga kini madih ditawarkan oleh Pancasila terhadap segala bentuk neokolonialisme di balik wacana globalisasi. Di masa depan, Pancasila juga dinilai bakal berperan penting untuk menjembatani tradisi dan modernitas di tengah pusaran krisis multidimensi yang melanda peradaban kontemporer.
Tidak hanya Pancasila, kekayaan alam dan berbagai teknologi yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia menurut Yudi juga berperan signifikan dalam perjalanan sejarah perkembangan dunia. Misalnya saja, sejak era sebelum Masehi hingga abad ke-16, Indonesia dapat disebut sebagai episentrum perkembangan teknologi maritim dunia.
Di bidang arsitektur, Indonesia juga menciptakan berbagai rumah tahan gempa dan juga candi-candi yang memuncak pada pembangunan Candi Borobudur. Pembangunan Borobudur yang menggunakan batu andesit dengan ukuran yang sangat presisi dinilai hanya mungkin dilakukan dengan sistem komputasional, tetapi saat itu masyarakat menciptakannya secara manual.
Arsitektur dan teknik pembangunan itu pun memberikan pengaruh kuat pada sistem arsitektur yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. ”Jadi, kita bukan saja kaya dari alamnya, melainkan kita juga pelopor berbagai inovasi di dunia. Masalahnya sekarang, kenapa ada proses pembalikan sejarah sehingga kita hanya menjadi konsumen dari hasil peradaban bangsa-bangsa lain,” kata Yudi.
Menurut Yudi, kontradiksi nasib bangsa saat ini dengan masa lalu tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme yang telah mencerabut masyarakat dari akar identitasnya. Di bawah pemerintah kolonial, masyarakat dipaksa untuk mengikuti seluruh program dan kebijakan tanpa ada pelibatan dalam ranah apa pun.
Meski sudah merdeka puluhan tahun, Yudi mengakui, dampak kolonialisme itu masih berlanjut hingga kini. Penjajahan menyisakan luka yang membentuk watak inferior dan mental terjajah. Akibatnya, bangsa Indonesia tidak bisa berinovasi secara optimal seperti di masa-masa sebelumnya.
Oleh karena itu, lanjut Yudi, diperlukan rekonstruksi jati diri bangsa. "Hal itu dapat dilakukan dengan penulisan sejarah yang bebas dari bias dan manipulasi kepentingan tertentu," tegas dia.
Sementara itu, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam sambutannya berharap, karya terbaru Yudi dapat membuka cakrawala masyarakat untuk memahami signifikansi kekayaan alam, kemanusiaan, dan peradaban Nusantara bagi dunia. Sebab dengan mengenali sejarah dan kejayaan masa lalu dapat memperkuat nasionalisme dan identitas kolektif yang berperan sangat penting bagi pembangunan bangsa.
“Keberadaan buku ini pun diharapkan bisa membantu masyarakat untuk terus belajar menjadi merdeka dan menghilangkan mentalitas peninggalan penjajah yang masih tersisa,” tegas Pontjo.
Senator RI asal Sumatera Barat Irman Gusman menilai peluncuran buku yang ditulis Yudi Latif ini hadir di saat yang tepat. “Ketika narasi global tentang Indonesia seringkali kurang tepat dan mengabaikan peran besar bangsa ini dalam perjalanan peradaban dunia,” kata Irman.
Menurut Irman, karya Yudi Latif menjadi ajakan moral untuk meneguhkan kembali kesadaran historis dan nilai keindonesiaan di tengah arus globalisasi yang kian deras.
“Buku ini mengingatkan kita bahwa kebesaran Indonesia bukan semata soal wilayah, tetapi tentang nilai dan peradaban yang telah kita sumbangkan kepada dunia. Ini momentum untuk memperkuat kepercayaan diri bangsa indonesia yang besar dan berdaulat,” jelas mantan Ketua DPD RI dua periode itu.
Dalam kesempatan tersebut, Irman Gusman bersama beberapa tokoh juga menerima buku langsung dari penulisnya, Yudi Latif, sebagai simbol apresiasi dan semangat kebersamaan dalam meneguhkan nilai-nilai kebangsaan.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti menilai buku karya Yudi Latif memiliki kedalaman filosofis dan relevansi historis yang tinggi.
“Saya melihat bahwa buku ini memberikan kepada kita rasa percaya diri dan keyakinan bahwa Indonesia, yang fondasinya diletakkan oleh para pendiri bangsa, adalah negara dengan konstruksi filosofis, ketatanegaraan, dan budaya yang luar biasa,” tandas Abdul Mu’ti.
(***)